31 Des 2011

Jauhi Narkoba dan Pergaulan Bebas untuk Cegah HIV/AIDS


SAMPAI akhir Desember 2011 kasus komulatif HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang tercatat 62 terdiri dari 45 kasus HIV dan 17 AIDS. Sementara itu, di Banten Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) kini jumlahnya sudah mencapai ribuan. Sedikitnya 1.514 warga di Provinsi Banten tertular HIV dan terdapat 552 yang mengidap AIDS.
Kondisi ini perlu mendapat penanganan serius dari pemerintah dan masyarakat, agar penanggulangan HIV/AIDS dapat dijalankan dengan benar sehingga penyebarannya dapat lebih ditekan.
Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Pandeglang Hj. Siti Erna Erwan Kurtubi menyatakan, jumlah ODHA di Pandeglang yang tercatat hanyalah kasus yang baru terdeteksi. Ini Artinya sambung Erna, ada kasus HIV/AIDS disekeliling kita yang belum terdeteksi. Karena keadaan yang terjadi sebenarnya seperti penomena gunung es dalam sebuah epidemi.
Erna memaparkan, dalam penomena gunung es jumlah pengidap HIV/AIDS saat ini digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul keatas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang belum terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es yang berada dibawah permukaan air laut.
“Jumlah pengidap HIV/AIDS bisa jadi lebih besar dari angka yang tercatat saat ini,” papar Erna saat melakukan dialog interaktif (talk show) di Televisi Carlita Pandeglang dalam acara Pojok Gardutanjak yang mengambil tema ‘Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang’ Kamis (22/12) malam sekitar pukul 19.00 Wib.
Selain Ketua Harian KPA Pandeglang, Talk show yang dipandu presenter CarlitaTV Dede Kodrat (Deko) juga diikuti Nara Sumber lainnya seperti Syaiful W. Harahap dari media relations officer KPA Banten serta Kabid Penanggulangan Penyakit Dinkes Pandeglang Dr. Hj. Asmani Raneyanti, MHA.
Hj. Siti Erna yang juga Istri Bupati Pandeglang H. Erwan Kurtubi menjelaskan, faktor utama yang mendorong semakin meningkatkan kasus HIV/AIDS yakni melakukan hubungan seksual yang tidak aman.
“Laki-laki yang beristri tertular HIV diluar rumah karena tidak memakai pelindung jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain, bisa istri atau PSK,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Erna, penularan akan terjadi dalam komunitas  penyalahguna narkoba suntik (penasum) secara bergiliran dengan bergantian. “Perilaku ini berisiko terjadi penyebaran HIV diantara mereka,” tegas Erna.
Oleh karena itu, Erna mengimbau untuk pencegahannya, masyarakat terutama generasi muda untuk menghindari penyalahgunaan Narkoba dan pergaulan bebas. “Kita berharap agar kaum laki-laki tidak melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan,” harapnya.
Peran media
Syaiful W. Harahap dalam kesempatan tersebut menegaskan, perlunya media massa menyebarluaskan informasi tentang HIV/AIDS secara komprehensif agar masyarakat memahami cara penularan dan pencegahannya secara akurat. Karena itu, dia berpendapat media massa sesungguhnya dapat lebih berperan sebagai media pembelajaran dan pendidikan tentang HIV/AIDS bagi masyarakat luas.
“Pencegahan yang paling efektif harus dilakukan melalui pendidikan masyarakat tentang HIV/AIDS sebagai bekal pengetahuan cara melindungi diri agar tidak tertular HIV,” kata Harahap yang juga utusan Austalian AID, salah satu lembaga internasional Australia yang konsen terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia.
dr. Hj. Asmani Raneyanti, MHA menambahkan, AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrom) bukan penyakit melainkan suatu kondisi seseorang yang telah tertular HIV (Human Immunodeficency Virus). Penyebarannyapun spesifik hanya dapat ditularkan melalui perantara darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). “Jadi, tidak benar HIV/AIDS dapat menular dengan cara bersalaman, makan bersama, berciuman, berenang bersama atau menggunakan toilet secara bersama dengan ODHA,” jelasnya.
Lebih lanjut Asmani mengatakan, pihaknya berkoordinasi dengan SKPD terkait telah melakukan upaya konkret untuk terus menekan angka penularan HIV, diantaranya melakukan sosialisasi dan screening (tes HIV) terutama dikalangan kelompok berisiko seperti lembaga pemasyarakatan, tempat lokalisasi PSK maupun melakukan pemetaan kelompok resiko tinggi lainnya.
Diakui Asmani, penanggulangan HIV/AIDS di Pandeglang masih perlu dorongan semua pihak termasuk dukungan media massa. “Kalau melihat cara penularannya, sangat mungkin masih banyak pengidap HIV di Pandeglang yang belum teridentifikasi, karena ketidaktahuan masyarakat,” katanya menegaskan.
Dalam kesempatan itu Asmani mengimbau warga yang diketahui berisiko tertular HIV agar melakukan pemeriksaan tes HIV/AIDS secara sukarela untuk pencegahan dan dilakukan pengobatan bila terbukti positif.
Sementara itu, presenter Dede Kodrat dalam pengantarnya menjelaskan, program Pojok Gardutanjak digelar Carlita TV malam Jum’at selama satu jam. “Acara ini dalam rangka Hari AIDS sedunia yang diperingati setiap 1 Desember sekaligus bertepatan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember 2011,” katanya. 
Talkshow yang berlangsung secara On Air (langsung red) berakhir sekitar pukul 20.00 Wib  mengangkat tema Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang. 

30 Des 2011

Jangan Tunda Usaha Penurunan AKI dan AKB


RABU  (21/12), Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH memberikan penghargaan kepada pemenang Lomba Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB) dalam rangka Peringatan Hari Ibu (PHI) Ke-83 Tahun 2011, di Jakarta.

Dalam sambutannya Menkes mengatakan, perkembangan pelayanan kesehatan ibu dan bayi di rumah sakit saat ini sedang mengalami kemajuan pesat. Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia menjadi sasaran pelayanan kesehatan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Menkes menyampaikan, untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi perlu pelayanan yang berkesinambungan dari tingkat masyarakat sampai tingkat rumah sakit. Dengan demikian upaya kesehatan ditingkat rumah sakit perlu didukung upaya rujukan kesehatan dari tingkat masyarakat.

Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI yaitu 228/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan AKB yaitu 34/1000 KH, sedangkan target RPJMN Kementerian Kesehatan tahun 2014 AKI sebanyak 118/100.000 KH dan AKB sebanyak 24/1000 KH.

”Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk penurunan AKI & AKB ini, diantaranya melalui program RSSIB”, ujar Menkes.

Oleh karena itu, untuk memantapkan pelaksanaan program RSSIB perlu membina jejaring dengan fasilitas kesehatan lainnya. Pembinaan dan evaluasi perlu dilakukan terus-menerus dan berkesinambungan agar program ini dapat terus berlanjut. Oleh karenanya peran Dinas Kesehatan Propinsi ataupun Kabupaten/Kota dan organisasi profesi diperlukan untuk keberlangsungan program ini, kata Menkes.

Menkes menekankan, program RSSIB bukan hanya milik Kementerian Kesehatan. Untuk menjamin pelaksanaan program dapat terlaksana secara berkesinambungan, membutuhkan keikutsertaan masyarakat dan berbagai lintas program.

Menkes mengungkapkan, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada pemenang terbaik RSSIB tingkat nasional.

Menkes berharap, ke depan rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan prima yang peka mengetahui kebutuhan; fokus menyediakan layanan; kompetitif; menyediakan layanan baru sesuai perkembangan IPTEK; lebih efektif; tarif lebih terjangkau serta menciptakan kepuasan semua pihak.

Pada kesempatan tersebut Menkes mengucapkan selamat kepada seluruh penerima penghargaan lomba RSSIB, dan berharap tujuan menurunkan AKI dan AKB di Indonesia dapat tercapai.

Lomba RSSIB diadakan setiap tahun guna memotivasi RS untuk menurunkan AKI dan AKB di Indonesia. Pada tahun 2011 telah terseleksi 1 RS sebagai pemenang dari tiap provinsi. Ada 26 provinsi yang telah mengajukan, sehingga ada 26 RS yang hadir  untuk menerima penghargaan lomba RSSIB.

Rumah sakit yang mendapat penghargaan RSSIB tersebut adalah: RSUD Fauziah Bireun, Aceh; RSUD Deli Serdang, Sumut; RSUD Padang Pariaman, Sumbar; RSUD MH Rabain Muara Enim, Sumsel; RSUD Abdul Manaf, Jambi; RSUD Arifin Ahmad, Riau; RSU Kasih Sayang Ibu,  Batam Kepri; RSUD Belitung,  Babel; RS Siloam Tangerang, Banten; RSIA Hermina Podomoro, DKI Jakarta; RSUD Karawang, Jabar; RSI Harapan Tegal, Jateng; RSUD Wates Kulonprogo, DIY; RSUD Sidoarjo, Jatim; RSUD Wangaya, Bali; RSU R Sujono Selong, NTB; RSUD W Z Joghanes, NTT; RSIA Anugrah Bunda Katulistiwa, Kalbar; RSLGNG Badak Bontang, Kaltim; RSUD Ulin Banjarmasin, Kalsel; RSUD Dr. Doris Sylvanus, Kalteng; RSIA Pertiwi Makassar, Sulsel; RSU Woodwarth Palu, Sulteng; RS Kolaka, Sulteng; RSUD Prof. Aloei Sabo, Gorontalo; serta RSUD M Hailusi, Ambon Maluku.

Penentuan pemenang diawali dari pemenang di tingkat provinsi yang selanjutnya di tingkat nasional. Penilaian lomba berdasarkan beberapa aspek, diantaranya: komitmen RS/Pemda, administrasi dan manajemen,  kegiatan pelayanan, fasilitas dan sarana serta unggulan pelayanan ibu & bayi di masing-masing rumah sakit.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567, atau alamat e-mail: info@depkes.go.idkontak@depkes.go.id.

26 Des 2011

Sebagian Besar Masyarakat Belum Memiliki Jamban


LANGKAH Pemkab yang telah menyusun rencana strategi sanitasi Kabupaten Pandeglang 2011- 2016 perlu dukungan semua pihak. Melalui strategi sanitasi kabupaten (SSK) diharapkan menjadi pegangan dalam penanganan masalah sanitasi di masyarakat, karena hal ini menjadi rencana pembangunan sanitasi jangka menengah kabupaten yang bersifat komprehensif dan terintegrasi.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang H. Iskandar, isu strategis dan tantangan layanan sanitasi yang menjadi fokus kinerja Dinkes Pandeglang dititikberatkan pada upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan lingkungan diantaranya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
“Upaya PHBS ini sudah kita tekankan kepada setiap petugas puskesmas dalam kegiatan pemberdayaan desa siaga, penyuluhan-penyuluhan maupun maupun pengawasan sanitasi dasar di rumah-rumah maupun sekolah,” kata Iskandar, Rabu (21/12).
Namun begitu, Iskandar mengakui memberikan pemahaman PHBS ditingkat masyarakat tidak cukup hanya dengan penyuluhan tanpa ada sarana sanitasi yang memadai. Dia mencontohkan, betapa sulitnya meyakinkan warga untuk stop buang air besar sembarangan (Stop BABs) karena sebagian besar warga tak punya jamban, begitupun masalah air bersih, sampah, sarana pembungan air limbah (SPAL) hingga persoalan rumah sehat.
Untuk itu dia berharap, adanya SSK kedepan intervensi program sanitasi bisa lebih seimbang antara kegiatan penyuluhan dan penyediaan sarana sanitasinya oleh lintas sektor terkait.
Dijelaskan Iskandar, saat ini jumlah kepemilikan jamban masih harus ditingkatkan.  “Keluarga yang memiliki jamban sehat baru sekitar 30,76 persen. Selebihnya warga masih buang tinja di kebon (dolbon), di suangai atau di kali,” katanya.
Begitupun warga yang berPHBS menurut dia masih 36 persen. Sementara jumlah keluarga yang memiliki rumah sehat sudah lebih banyak yakni 55,75% persen.
Iskandarpun berharap dalam lima tahun kedepan, strategi sanitasi kabupaten yang merupakan bagian dari program dan kegiatan percepatan pembangunan sanitasi permukiman (PPSP), dapat memberikan pengaruh lebih meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Terutama meningkatkan IPM kesehatan di Kabupaten Pandeglang  yang sekarang baru mencapai angka 67,99 dibawah Banten (70,06) dan angka IPM Nasional (71,2),” katanya. 

25 Des 2011

Sanitasi Berperan Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat


SANITASI sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan kesehatan, pola hidup, kondisi lingkungan permukiman serta kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari. Sanitasi seringkali dianggap sebagai urusan “sekunder”, sehingga sering terpinggirkan dari urusan-urusan lain. Namun seiring dengan tuntutan peningkatan standar kualitas hidup masyarakat maka sanitasi menjadi salah satu aspek pembangunan yang harus diperhatikan.
Demikian sampaikan Bupati Pandeglang Drs. H. Erwan Kurtubi, MM ketika membuka secara resmi acara Konsultasi Publik Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Pandeglang di Oproom III Setda Pandeglang, Rabu (21/12). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan, saran dan pendapat dari berbagi pihak terhadap konsep dokumen SSK sehingga dalam proses penyusunannya didapat suatu dokumen SSK yang komprehensif, sistematis, terintegrasi dan berkelanjutan.
“Strategi Sanitasi Kabupaten ini merupakan detail penanganan sanitasi yang ada di Buku Putih Sanitasi (BPS), dimana telah ditetapkan ada 9 (sembilan) kecamatan dengan resiko sanitasi tinggi, yaitu : Sumur, Cibitung, Cigeulis, Sobang, Munjul, Angsana, Sindangresmi, Cisata dan Cikedal. Serta ditetapkan pula 9 (sembilan) kecamatan dengan resiko sanitasi sangat tinggi yaitu : Cimanggu, Cibaliung, Cikeusik, Panimbang, Picung, Pagelaran, Patia, Sukaresmi dan Labuan,” katanya.
Dalam laporannya, Kepala Bappeda Pandeglang Drs. H. Aah Wahid Maulany, M.Pd mengatakan Misi Sanitasi Kabupaten Pandeglang akan diarahkan kepada rencana Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap prilaku Hidup Bersih dan Sehat, peningkatan cakupan layanan air limbah, peningkatan cakupan layanan persampahan, peningkatan sistem pengelolaan drainase, peningkatan cakupan layanan air minum, peningkatan sumber-sumber pendanaan pembangunan sanitasi, meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta dalam pembangunan sanitasi serta meningkatkan kapasitas kelembagaan sanitasi.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang H. Iskandar mengatakan salah satu misi yang dirumuskan dalam dokumen SSK Pandeglang yakni Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Misi ini menuntut seluruh jajaran kesehatan untuk lebih fokus lagi dalam upaya promosi kesehatan khususnya PHBS yang terkait dengan kesehatan lingkungan seperti pemanfaatan jamban sehat, penggunaan air bersih maupun dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Disisi lain, lanjut Iskandar penetapan misi PHBS sebagai bagian dari rencana SSK lima tahun kedepan menunjukan keseriusan Pemkab dalam pemberdayaan masyarakat dengan pelibatan lintas sektor terkait.
“Misi peningkatan PHBS harus digarap oleh sektor lain bersama-sama seluruh jajaran kesehatan agar mempunyai daya ungkit yang lebih besar dalam perubahan perilaku yang positif bagi masyarakat,” kata Iskandar.

24 Des 2011

Dinkes Terus Benahi Aset Daerah


UNTUK memdapat status wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam laporan pertanggungjawaban keuangan dan pembangunan daerah tahun 2011 wajib didukung seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Oleh karena itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) sebagai salah satu SKPD di lingkungan Pemkab Pandeglang terus berbenah, menertibkan pengelolaan aset di lingkungan Dinkes Pandeglang. “Saat ini 90 persen aset dinkes sudah terdata. Kita menargetkan seluruh aset daerah di lingkungan Dinkes Pandeglang selesai didata pada akhir bulan Desember ini,” ujar Sekretaris Dinkes Pandeglang Hj. Nuriah, SKM, MSi, Jum’at (9/12) akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, untuk mendata seluruh aset Dinkes tidak mudah, terlebih harus mencantumkan daftar harga dan bukti kepemilikan yang sah sebagai aset daerah.
Oleh karena itu, untuk mencapai target selesai akhir tahun ini, pihaknya harus turun ke puskesmas-puskesmas untuk memberikan pemahaman teknis tentang tatacara pengelolaan barang milik daerah. Nuriah juga menegaskan soal pentingnya upaya pengelolaan aset yang merupakan bagian dari tugas pokoknya sebagai sekretaris.
“Pengaturan aset dengan baik akan memberikan nilai tersendiri bagi daerah dalam mencapai status wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan daerah,” tegasnya.
Untuk keperluan entry data aset daerah tersebut, Kantor Dinkes menyiapkan sebuah ruangan khusus dilengkapi seperangkat komputer plus sofware yang untuk entry data (memasukan dan menyimpan data aset red) pengelola barang di setiap unit pelaksana teknis (UPT).
Didampingi sejumlah stapnya, Nuriah secara aktif terus memantau perkembangan proses entry data dari seluruh UPT Puskesmas termasuk UPT Laboratorium Kesehatan Daerah dan Gudang Farmasi Kesehatan. Aset yang didata, menurut Nuriah adalah seluruhnya. “Baik yang bergerak seperti kendaraan maupun aset tidak bergerak seperti bangunan, tanah termasuk alat kesehatan dan belanja modal lainnya sampai tahun anggaran 2010,” katanya.

23 Des 2011

Komisi IX Tinjau Pelayanan Jamkesmas

PANDEGLANG, (KB).- Komisi IX DPR-RI meninjau langsung pelayanan kesehatan dan jamkesmas yang dialokasikan dari pusat ke seluruh rumah sakit. Peninjauan ini, juga terkait dengan adanya Undang-undang BPJS yang rencananya akan diterapkan pada tahun 2014. 
Untuk pasien jamkesmas, seluruh pelayanan harus dibebaskan dari biaya dan dibayar penuh oleh pemerintah.
Hal tersebut dikemukakan wakil ketua Komisi IX DPR-RI, dr. Ahmad Nizar Shihab kepada wartawan usai bertemu dengan Bupati Pandeglang di pendopo pemkab, kemarin. Saat melakukan kunjungan, Nizar didampingi oleh sejumlah dirjen dari Kemenkes serta Kemenkertrans serta sejumlah pejabat lainnya.
Nizar mengungkapkan, pihaknya akan melihat pelayanan yang ada di rumah sakit. Pelayanan ini, termasuk didalamnya mengenai pasien yang berada di kelas III yang harus dilayani secara gratis.
“Kami akan berdialog dengan manajemen rumah sakit. Kemudian, kami juga akan melihat bagaimana pelayanan jamkesmas, jamkesda maupun lainnya,” kata Nizar.
Dia mengatakan, pada tahun 2014, akan diberlakukan Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan (BPJS). Adanya BPJS ini, maka kebutuhan akan fasilitas untuk pasien di ruang kelas III akan mengalami peningkatan. RSUD Pandeglang juga harus siap dengan diberlakukannya undang-undang ini dengan menyiapkan fasilitasnya.
Dalam kesempatan itu, wakil ketua Komisi IX DPR-RI ini juga mengatakan, pelayanan jamkesmas harus gratis. Alasannya, pemerintah pusat telah membayar seluruh kebutuhan bagi pasien yang memiliki jamkesmas. (H-18)***


Sumber : HU Kabar Banten

10 Des 2011

Penerimaan Bidan Program G to G untuk Penempatan di Timor Leste

Berdasarkan MoU antar Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste, akan dilaksanakan penempatan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bidan ke Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dalam Program Government to Government (G to G) tahun 2012.

Calon TKI Bidan harus melengkapi persyaratan, yaitu: Berusia 25-35 tahun per 31 Desember 2011; Fotocopy KTP; Fotocopy Paspor (sekurang-kurangnya masih berlaku 1 tahun); Fotocopy Kartu Pencari Kerja yang dilegalisir dengan cap basah atau embose; Fotocopy ijazah pendidikan minimal DIII Kebidanan yang dilegalisir oleh Lembaga Pendidikan kebidanan dengan cap basah; Fotocopy transkrip nilai yang dilegalisir dengan cap basah; Fotocopy Surat Tanda Registrasi (STR) dari Kementerian Kesehatan yang dilegalisir dengan cap basah; Fotocopy Surat Pengalaman Kerja sebagai bidan sekurang-kurangnya 1 tahun (dapat dikumulatifkan) sampai dengan 31 Desember 2011 yang dilegalisir dengan cap basah; Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) asli dan masih berlaku; Keterangan Medical Check Up (MCU) asli dengan hasil fit, dan untuk perempuan tidak dalam keadaan hamil; Pas foto terbaru (latar belakang biru) dengan ukuran 3x4 cm sebanyak delapan lembar; Tidak pernah bertato dan tidak pernah bertindik. Berkas lamaran dimasukkan dalam softmap warna hijau. Di bagian halaman muka, dituliskan nama, alamat, nomor telepon yang mudah dihubungi dan alamat e-mail (diperlukan saat proses matching). Berkas lamaran disampaikan langsung ke tempat pendaftaran di Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan (Pusrengun SDMK) Kementerian Kesehatan RI, di Jalan Hang Jebat III/F3 Lantai 6 ruang 604 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Telepon (021) 7258606, Faksimili (021) 7258618. Pendaftaran dilakukan dengan mengisi formulir pendaftaran secara langsung di tempat pendaftaran, sejak tanggal 5-30 Desember 2011. Informasi lebih lanjut, dapat diakses melalui website www.bppsdmk.depkes.go.id.

Berkas yang diterima adalah berkas lamaran yang lengkap dan memenuhi persyaratan, untuk selanjutnya disampaikan kepada Direktorat Pelayanan Penempatan Pemerintah, Deputi Bidang Penempatan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Tahapan yang akan dilalui calon TKI Bidan, dimulai dari proses pendaftaran, seleksi administrasi, seleksi teknis melalui uji kompetensi bidan yang dilakukan oleh badan PPSDM Kesehatan Kemenkes RI, Medical Check Up di Rumah Sakit yang ditentukan, wawancara dengan pihak RDTL, dan pembekalan akhir pemberangkatan oleh BNP2TKI.

Fasilitas yang akan diterima oleh TKI Bidan, yaitu gaji sebesar USD 600/bulan; jam kerja selama 8 (delapan) jam/hari; jam istirahat diantara waktu kerja selama 1 (satu) jam/hari; hak cuti tahunan selama 20 hari/tahun; biaya akomodasi, transportasi dan makan; perlindungan asuransi kesehatan, kecelakaan, kematian dan PHK; kompensasi untuk pelayanan yang terkait dengan sakit atau kecelakaan serat kematian; dan perlindungan keamanan.

Disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faksimili: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567, atau e-mail kontak@depkes.go.id.

Sumber : Departemen Kesehatan RI

7 Des 2011

Bupati/Walikota Berperan Capai Target MDGs

Millennium Development Goals (MDG) merupakan kerangka kerja pembangunan yang telah disepakati seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Terdapat 8 sasaran MDG, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan  dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan tingkat dasar yang merata dan universal; (3) Memajukan kesetaraan gender; (4) Mengurangi tingkat kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Menanggulangi HIV/AIDS; Malaria dan penyakit lain; (7) Menjamin kelestarian lingkungan; dan (8)Menjalin kerjasama global bagi perkembangan kesejahteraan.

Posyandu berperan penting dalam pencapaian sasaran MDG, utamanya terkait dengan peningkatan status gizi  anak serta kesehatan ibu dan anak. Dukungan para Bupati/ Walikota sangat diperlukan bagi revitalisasi dan berlangsungnya kegiatan Posyandu. Kegiatan penimbangan Balita di Posyandu sangat penting untuk deteksi dini ada tidaknya masalah gizi pada anak.

Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, saat memberikan pengarahan pada Rapat Kerja Bupati/Walikota se-Provinsi Kepulauan Riau, di Batam (28/11). Raker dibuka Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, HR Agung Laksono.

Indikator yang paling menentukan pada MDG-1 adalah prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Prevalensi gizi kurang telah menurun secara signifikan, dari 31% (1989) menjadi 17,9 % (2010). Demikian pula prevalensi gizi buruk menurun dari 12,8% (1995) menjadi 4,9% (2010). Kecenderungan ini menunjukkan, target penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menjadi 15% dan 3,5% pada 2015, diharapkan dapat tercapai.

Menkes memaparkan, untuk mengatasi masalah gizi, diprioritaskan kepada 1.000 hari pertama kehidupan mencakup perbaikan gizi ibu hamil dan anak usia 0 – 24 bulan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan meliputi Pendidikan ibu tentang makanan bergizi selama hamil; Pemberian ASI dan MP-ASI, serta pemantauan pertumbuhan; Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; Pelayanan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) di fasilitas kesehatan; Konseling menyusui secara eksklusif; Pemberian TABURIA; Pemberian MP-ASI untuk anak usia 6–24 bulan gizi kurang; Pemantauan pertumbuhan di Posyandu; Supelementasi Vitamin A; Tatalaksana anak gizi buruk termasuk pencegahan dan penanganan kasus anak yang pendek (stunting); dan peningkatan intervensi melalui fortifikasi untuk menanggulangi kekurangan zat gizi mikro.

Dalam koridor MDG-4, Menkes menguraikan, berdasarkan data Hasil Suvei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007), angka kematian bayi (AKB) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AK Balita) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup.

”Angka kematian neonatal menunjukkan tren penurunan yang lambat. Padahal, target yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah 23 per 1000 kelahiran hidup untuk AKB dan 32 per 1000 kelahiran hidup untuk AK Balita. Karena itu, keberhasilan imunisasi dan penanganan penyakit infeksi sangat besar kontribusinya”, tambah Menkes.      

Selanjutnya, indikator MDG-5 yaitu angka kematian ibu (AKI), merupakan salah satu indikator yang diperkirakan sulit dicapai. Kesulitan ini tidak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga di banyak negara berkembang di dunia. Data terakhir AKI adalah 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Masih perlu upaya yang lebih keras guna mencapai target MDG pada 2015, yaitu AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

“Tingginya AKI dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Penyebab utama kematian ibu, yaitu perdarahan pasca persalinan, eklamsia dan infeksi. Memperhatikan permasalahan yang dihadapi maka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya prioritas dalam penurunan AKI”, tandas Menkes.

Mengutip data hasil Riskesdas (2010), Menkes menyampaikan, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional sudah mencapai 82,7%. Namun, hingga saat ini, baru 8 propinsi yang mencapai angka 90% (sesuai target MDG), yaitu  Provinsi DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh. 

“Dalam menurunkan AKI dan AKB serta meningkatkan kepesertaan KB pasca persalinan, dilaksanakan Program Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak awal tahun 2011. Sasaran Jampersal adalah semua ibu hamil yang tidak mempunyai jaminan persalinan. Jenis pelayanan yang diberikan adalah Antenatal Care  (ANC) sebanyak 4 kali, pertolongan persalinan, dan Post-natal Care (PNC) sebanyak 3 kali”, ujar Menkes.

Dalam pembahasan tentang MDG-6, Menkes menyatakan, case fatality rate (CFR) penderita AIDS di Indonesia menurun dari 40% (1987) menjadi 2.7% (2011). Ada kecenderungan peningkatan prevalensi HIV, namun prevalensi AIDS tampak stabil. Keadaan ini diduga terjadi karena meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan HIV-AIDS, sehingga lebih banyak orang yang terdiagnosis sejak dini. Faktor risiko utama penularan AIDS di Indonesia adalah hubungan seks heteroseksual tanpa pelindung (kondom) dan tukar-menukar jarum suntik di antara pengguna narkotik suntik (Penasun).

“Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS difokuskan pada upaya menekan laju angka prevalensi kasus HIV dan peningkatan persentase ODHA yang mendapat Anti Retroviral Treatment (ARV)”, jelas Menkes.

Pada tahun 2011, dimulai kegiatan Kampanye HIV/AIDS “Aku Bangga, Aku Tahu (ABAT)”. Kampanye ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada masyarakat, khususnya kelompok umur 15-24 tahun, sebagai kelompok paling berisiko terinfeksi HIV. Kampanye ABAT dilakukan di 100 kabupaten/kota di 10 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi HIV yang tinggi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Riau, dan Sumatera Utara. Sosialisasi dilakukan pada 10 SLTP, 10 SLTA, 10 Perguruan Tinggi, 10 tempat kerja, dan di kalangan 10 organisasi kepemudaan. Kegiatan dilaksanakan secara lintas sektor oleh Kemenkes, Kemendagri, Kemenaker, Kemdikbud, BNN, KPA dan Pemerintah Daerah setempat.

Hal lain, Menkes membahas mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Saat ini, sebanyak 149 juta jiwa (63,13%) dari 236 juta jiwa penduduk telah memiliki jaminan kesehatan dengan berbagai model. Dengan demikian, jumlah masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan sebanyak 87 juta jiwa (36,87%).

Persentase terbesar peserta jaminan kesehatan adalah Jamkesmas sebanyak 76,4 juta jiwa (32,36%), Jamkesda sebanyak 31,8 juta jiwa (13,50%), peserta Askes PNS, pensiunan, dan veteran sebanyak 17,36 juta jiwa (7,36%); selebihnya peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek dan swasta lainnya. Pada tahun 2014, seluruh jaminan kesehatan sosial akan diselenggarakan oleh BPJS kesehatan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang BPJS.

Pada kesempatan tersebut, Menkes mengharapkan dari para Bupati/Walikota dalam mempercepat pencapaian MDG, agar dapat mengalokasikan pembiayaan  yang memadai untuk kesehatan melalui APBD; melakukan pengawalan pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal; menempatlkan pencapaian MDG sebagai prioritas; melakukan fasilitasi  penempatan tenaga strategis kesehatan di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan pulau terluar; dan memberikan perhatian khusus  pada upaya penanggulangan bencana dan kegawat-daruratan.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faksimili: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567, atau e-mail kontak@depkes.go.id.

Sumber : depkes.go.id

6 Des 2011

Pembangunan RSUD Labuan Dilanjutkan

Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan yang beberapa bulan terbengkalai kini dilanjutkan kembali.
Berdasarkan plang proyek yang ter­pampang, pembangunan gedung RSUD Labuan merupakan kegiatan dukungan manajemen dan pe­lak­sanaan tugas teknis Sekretariat Dit­jen Bina Upaya Kesehatan Tahun Anggaran 2011. Proyek lanjutan pem­­bangunan rumah sakit tiga lantai ini didanai APBN sebesar Rp 4,46 miliar dengan pelaksana pro­yek PT Marbaco Duta Persada. “Kami melanjutkan pem­bangunan gedung ini sejak pertengahan No­vember lalu. Pem­bangu­nannya sempat tertunda dua bulan,” kata Sutisna, salah seorang pekerja, Rabu (30/11).
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pan­deg­­lang Iskandar mengatakan, te­rlambatnya pembangunan RSUD Labuan karena anggarannya tidak di­kucurkan sekaligus oleh Ke­men­terian Kesehatan (Kemenkes). “Tapi kita tidak berpikir ke belakang, yang jelas kelanjutan pembangunan RSUD Labuan ini dilakukan,” ungkapnya.
Iskandar menuturkan, di bangun­nya RSUD Labuan ber­da­sarkan usulan masyarakat terutama di Pan­­deglang bagian selatan ke pi­hak­­nya beberapa tahun lalu. “Se­telah kita ajukan, ternyata direspons oleh Pemprov Banten dan pe­me­rintah pusat. Keberadaan RSUD La­buan sangat dinantikan oleh mas­yarakat Pandeglang bagian selatan,” ujarnya.
Sekretaris Dinkes Pandeglang Hj. Nuriah berharap masyarakat untuk mengawasi proses kelanjutan pem­bangunan RSUD Labuan. “Jika masyarakat menemukan keganjilan pembangunan proyek, silakan laporkan ke kami. Nanti akan kami sam­paikan ke Dinkes Provinsi Banten agar menegur rekanan pro­yek yang nakal,” pintanya. (mg-13/fau/zen)

Sumber : Radar Banten.Com

Puskesmas Banjar Berdayakan Poskestren


SEBAGAI sebuah lembaga pendidikan yang mengakar di masyarakat, peran pondok pesantren (Pontren) sangat penting bagi pembentukan karakter generasi muda. Terlebih  pontren saat ini selain mengajarkan ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu kesehatan. Hal ini merupakan tantangan bagi Kepala Puskesmas Banjar, Hj. Ika Rostika Marliah dalam program pemberdayaan masyarakat yang kini sedang diupayakannya.
Menurut Ika, optimalisasi pemberdayaan masyarakat di lingkungan pontren tidak kalah pentingnya dengan usaha kesehatan sekolah (UKS) yang umumnya sudah berjalan. “Seperi halnya sekolah umum, pontren harus mendapat porsi perhatian yang sama dalam pembinaan kesehatan. Tujuannya agar santri dan penghuni pondok mampu secara mandiri menjaga kesehatan dan menghindarkaan dari penyakit yang mungkin terjadi di lingkungan pontren,” kata Ika, disela-sela pengukuhan pengurus UKS di lingkungan Pontren Terpadu Darul Iman, Desa Kadupandak Kecamatan Banjar, kemarin.
Dijelaskan Ika, pihaknya merintis UKS dilingkungan pontren melalui kemitraan dengan lintas sektor kecamatan. “Melalui wadah UKS ini kami sudah mengembangkan beberapa kegiatan seperti konseling kesehatan reproduksi (KKR) dan menghidupkan kegiatan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren),” katanya.
Dia mengungkapkan, KKR yang sudah berjalan dua bulan sekarang sudah memiliki 35 kader kesehatan remaja yang dibina bersama petugas lapangan keluarga berencana (PL KB) dan UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Banjar. Sedangkan Poskestren, tambah Ika, pihaknya telah melatih dua orang santri husada dan seorang ustadzah (guru red) untuk mengikuti pelatihan manajemen pengelolaan Poskestren tingkat Provinsi Banten yang digelar selama sepekan, pada minggu kemarin

Perawat Telantarkan Pasien Disanksi

Kepala Dinas Ke­sehatan (Dinkes) Pandeglang Is­kandar mengatakan pihaknya ke­sulitan dalam menangani pasien mis­kin. Kata dia, penanganan pa­sien miskin selalu terganjal oleh tidak tersedianya anggaran. “Kami tidak bisa berbuat banyak ketika ada pasien miskin yang menolak di­rawat karena tidak memiliki biaya selama penanganan di pus­kesmas atau rumah sakit,” kata Is­kandar menyikapi keluhan warga ter­hadap mahalnya biaya pengo­batan kepada Radar Banten, Selasa (29/11).
Iskandar mengklaim, semua pa­sien miskin di Pandeglang telah di­tanganinya secara optimal seiring de­ngan diberlakukannya sanksi bagi perawat atau bidan yang sengaja menelantarkan pasien miskin. “Saya sudah mengintruksi­kan kepada semua pegawai di Di­nas Kesehatan untuk tidak mem­beda-bedakan pasien. Saya ter­buka menerima laporan jika ada petugas yang bandel,” ung­kapnya, yang mengatakan akan mencari solusi biaya penang­gula­ngan kesehatan miskin saat di­rawat.
Dikatakan Iskandar, program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat Pandeglang (Jamkes­mapan) tidak mencakup biaya selama pasien dirawat. Keluarga pasien, kata dia, tetap harus mengeluarkan biaya ketika mereka berada di rumah sakit. “Kami hanya bisa membebaskan biaya pelayanan kesehatan terhadap pasien. Tetapi tidak bagi penunggu pasien. Mereka harus tetap mengeluarkan biaya makan dan minum sendiri selama anggota keluarga dirawat,” katanya, seraya mengatakan faktor ini yang menyebabkan pasien miskin menolak dirawat. (zis/fau/zen)

Sumber : Radar Banten.Com

5 Des 2011

Penanggulangan AIDS Menunggu Langkah Konkret KPA Pandeglang

AIDS di Kab Pandeglang, Banten: Penanggulangan Menunggu Langkah Konkret KPA

 

Bupati Pandeglang, Prov Banten, Erwan Kurtubi, mengaku prihatin dengan banyaknya kasus HIV/AIDS di Pandeglang. Padahal, 10 atau 20 tahun lalu tidak terdengar di Pandeglang ada penderita HIV/AIDS terlebih daerah ini terkenal sebagai kota santri. Karena itu, Komisi Penganggaulan HIV/AIDS (KPA) Pandeglang harus mengambil langkah serius (Penderita AIDS Terus Bertambah, Harian “Kabar Banten”, 14/10-2011). 

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terkait dengan epidemi HIV. Secara statistik rata-rata masa AIDS mulai muncul antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Tentulah 10 atau 20 tahun yang lalu belum ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Pandeglang.

Saat itu kemungkinan baru terjadi penularan baik di wilayah Pandeglang maupun di luar Pandeglang. Artinya, penduduk Pandeglang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di Pandeglang atau di luar Pandeglang.
Penduduk Pandeglang yang berisiko tertular HIV adalah:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kab Pandeglang atau di luar Kab Pandeglang.

(b) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kab Pandeglang atau di luar Kab Pandeglang.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kab Pandeglang atau di luar Kab Pandeglang.

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkab Pandeglang bisa menjamin bahwa 100 persen penduduk Kab Pandeglang tidak pernah melakukan kegiatan (a), (b) dan (c)?

Kalau jawabannya YA, maka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kab Pandeglang bukan pada penduduk, asli atau pendatang, Kab Pandeglang.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka sudah ada penduduk Kab Pandeglang yang mengidap HIV/AIDS, tapi belum terdeteksi. Tidak mengherankan kalau kemudian Dinas Kesehatan Pandeglang mencatat ada enam kasus pada tahun 2010 dan tiga kasus tahun 2011.

Angka itu tentu tidak menggambarkan kasus riil di masyarakat karena bisa saja ada yang tertular di sekitar tahun 2010 sehingga masa AIDS baru muncul 5 atau 15 tahun yang akan datang.

Disebutkan oleh Bupati, pemerintah berkewajiban mengupayakan langkah pencegahan terutama di kalangan generasi muda dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan tertular seperti orang miskin, perempuan, dan anak-anak.

Pernyataan itu tidak akurat karena mata rantai penyebar HIV yang sangat potensial adalah laki-laki dewasa. Selain menularkan HIV kepada istrinya laki-laki dewasa yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti istri, selingkuhan, pacar atau pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan penyebaran yang dilakukan oleh laki-laki dewasa.

Kerentanan terhadap HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan kemiskinan dan usia. Setiap orang rentan tertular HIV jika perilakunya berisiko yaitu melakukan kegiatan (a), (b) atau (c).

Jika Pemkab Pandeglang mengabaikan penyebaran HIV karena tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran, maka ledakan AIDS akan mengintai Pandeglang karena penduduk bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar Pandeglang. ***[Syaiful W. Harahap]***

Sumber: kompasiana

Tujuh Mitos Palsu Seputar HIV dan AIDS

Hari AIDS Sedunia, setiap 1 Desember, diperingati untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS. Apalagi kasus penyakit HIV/AIDS di Indonesia tiap tahun makin meningkat.

Menurut data Kementerian Kesehatan RI, dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan dalam penyebarannya. Pada 2005, tercatat 5.321 orang terinfeksi HIV dan AIDS sementara pada bulan September 2010 tercatat 22.726 orang.

Agar informasi yang beredar tentang HIV/AIDS tidak menyesatkan dan tidak memunculkan prasangka dan stigma buruk terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS), kenali mitos dan fakta seputar virus dan penyakit mematikan. Berikut 7 Mitos Palsu Seputar Penyakit AIDS, yaitu :


1. Orang Yang Baru Didiagnosis HIV/AIDS Akan Segera Meninggal
Fakta: Pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Karena, orang yang telah terdiagnosis tertular HIV/AIDS, terbukti bisa hidup lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Pemakaian obat, program pengobatan yang baik, dan pemahaman yang lebih baik tentang virus ini memungkinkan mereka yang terinfeksi untuk hidup normal, sehat, dan tentunya tetap hidup produktif.


2. HIV/AIDS Bisa Disembuhkan Lewat Pengobatan Alternatif
Fakta: Tak sedikit orang mengklaim mampu menyembuhkan secara alternatif. Tapi, kenyataannya sekarang ini belum ditemukan obat untuk mengalahkan HIV/AIDS. Jadi, hati-hati terhadap klaim atau penyembuhan mukjizat.


3. Dokter Umum Bisa Mengobati HIV/AIDS
Fakta: para ahli percaya bahwa dengan kompleksitas HIV dan AIDS, berarti hanya dokter spesialis kasus ini yang mampu merawat ODHA. Pastikan untuk memilih dokter tepat untuk merawat pasien HIV/AIDS secara teratur.


4. HIV/AIDS Tidak Bisa Tertular Lewat Seks Oral
Fakta: Sekali lagi, ini tidak benar dan ini mitos yang sangat berbahaya. Kondom harus tetap digunakan setiap kali melakukan hubungan seksual, anal, dan oral.


5. Mengidap HIV/AIDS Tidak Bisa Punya Anak
Fakta: Wanita yang hidup dengan HIV/AIDS tetap bisa hamil dan memiliki keturunan. Untuk mengurangi risiko penularan HIV, maka harus menjalani pengobatan untuk mengendalikan infeksi.


6. Usia Di Atas 50 Tidak Akan Tertular HIV/AIDS
Fakta: Ini tidak benar, karena banyak kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada usia di atas itu. Virus ini bisa menyerang segala usia.


7. Pasangan Tang Sama-sama Kena HIV/AIDS, Tak Perlu Pakai Pengaman
Fakta: Tidak benar. Ahli menilai justru bila mereka tidak menggunakan kondom, bisa lebih parah dan proses pengobatan menjadi lebih sulit.

Sumber : forum.kompas.com

4 Des 2011

Hapus Diskriminasi ODHA

KOMISI Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Banten meminta dunia kerja atau dunia usaha tidak mendiskriminasikan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pasalnya, ada beberapa kasus ODHA yang diberhentikan atau dipecat oleh perusahaan.
Hal itu yang menjadi tema aksi simpatik KPA  Provinsi Banten, Kamis (1/12), dalam rang­ka peringatan Hari HIV/AIDS se-Dunia. Da­lam aksi tersebut, KPA membagi-bagikan bunga mawar dan leafet kepada pengguna jalan. Aksi simpatik juga dilakukan di Alun-alun Kota Serang dan di Kabupaten Pandeglang.
Kusnadi, koordinator lapangan aksi simpatik,  mengatakan, ada beberapa ODHA yang dipecat dari tempat kerjanya melapor ke KPA. “Kami tidak ingin ada kejadian se­perti itu lagi. ODHA tetap dapat bekerja karena ODHA masih tetap dapat beraktivitas,” ujar Kusnadi di sela-sela aksi sim­patik, Kamis (1/12).
Sekadar informasi, HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), yaitu penyakit yang menginfeksi dan merusak sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi.
Pada masa datang, tambah Kusnadi, KPA juga menyosialisasikan HIV/AID kepada perusahaan-perusahaan supaya tidak ada lagi ODHA yang mendapat perlakuan diskriminasi atau dipecat.
Kata dia, tahun ini leading sector peringatan Hari HIV/AIDS se-Dunia yakni Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans). Setiap tahun leading sector-nya  bergantian sehingga seluruh instansi yang ada diharapkan dapat memahami dan mengerti tentang HIV/AIDS.
“Untuk tahun ini, kami mengambil tema hapuskan stigma dan diskriminasi di dunia kerja,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Fasilitator Program untuk Lapas dan Rutan Banten KPA Provinsi Banten ini.
Pengelola Program KPA Provinsi Banten Khoerunisa mengatakan, selain masalah pemecatan ODHA di dunia usaha dan dunia kerja, aksi simpatik tahun ini juga menyerukan agar pekerja laki-laki dapat mencegah penularan HIV. Pasalnya, ada sejumlah pekerja laki-laki yang menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK). “Untuk itu, kami juga ingin melakukan sosialisasi kepada para pekerja laki-laki bahwa penyakit itu dapat menular melalui hubungan seksual. Untuk mencegahnya, para pekerja dapat menggunakan kondom,” terangnya.
Ber­dasar­kan data KPA hingga saat ini, kasus HIV/AIDS yang terungkap di Provinsi Banten yakni 49,3 persen dari jumlah estimasi sebanyak 4.288 orang. (nna/yes)

Sumber : Radar Banten.Com

Perlu Peran Keluarga Cegah HIV/AIDS

PERAN keluarga, terutama orang tua sangat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit HIV/AIDS yang saat ini memprihatinkan, termasuk di Provinsi Banten.
Ketua KPA Provinsi Banten Arief Mulyawan menjelaskan penanggulangan penyakit yang mematikan tersebut, harus melibatkan semua komponen, termasuk pemerintah daerah, aparat, tokoh agama, pers, dan organisasi kemasyarakatan.
“Saya minta para orang tua membantu pencegahan penyebaran HIV/AIDS dengan cara mengawasi pergaulan anak-anaknya, karena jika sudah tertular akan menghancurkan keluarga sendiri,” katanya.
Penularan penyakit HIV/AIDS, di antaranya melalui penggunaan jarum suntik bergantian oleh pencandu narkoba, sering berganti pasangan, transfusi darah dari penderita, pemberian air susu dari orang tua yang tertular pada bayinya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Dais Iskandar, juga mengharapkan para orang dan keluarga secara umum agar bisa berperan aktif dalam membentu pemerintah menanggulangi serta memutus mata-rantai penyebaran penyakit tersebut.
“Upaya pemerintah untuk memberantas dan memutus penyebaran HIV/AIDS tidak akan berhasil secara optimal, tanpa dibantu masyarakat, terutama para orang tua yang memiliki anak usia remaja,” katanya.
Ia mengaku pada setiap kesempatan terus mengajak para orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya, agar tidak terjerumus pada prilaku menyimpang, seperti penyalahgunaan narkotika dan hubungan bebas.
Guna mencegah penyebaran panyakit itu, Dinas Kesehatan terus melakukan sosialisasi baik pada keluarga korban maupun masyarakat termasuk di kalangan pelajar dan mahasiswa sehingga diharapkan mereka bisa melakukan upaya pencegahan sejak dini.
“Keluarga harus terlibat langsung dalam penanggulangan HIV/AIDS agar penularan penyakit itu bisa dilakuka sejak dini,” kata Iskandar
Wakil Direktur Pelayanan RSUD Kota Cilegon Dr Indera Adriani, yang juga menjelaskan untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS yang lebih luas, perlu keterlibatan dan kerjasama semua pihak.
“Semua pihak mulai dari masyarakat, ulama, kepolisian, Badan Narkotika, Dinas Kesehatan, hingga dari kalangan keluarga dan orang tua harus terlibat aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS,” katanya.
Menurut dia, keterlibatan keluarga, lingkungan, dan orangtua sangat akan membantu memberikan penyadaran kepada genersi muda khususnya akan bahaya penyakit HIV/AIDS.
Selain itu, juga harus ada pemahaman dan pendidikan yang cukup dari keluarga dan orangtua, agar generasi muda tidak terjerumus pada hal-hal negatif.
Memprihatinkan
Penyebaran HIV/AIDS di Provinsi Banten, sudah berada pada taraf memprihantinkan, dan jika tidak dilakukan penanggulangan secara maksimal bisa lebih parah.
“Jumlah penderita HIV/AIDS di Banten saat ini tercatat 1.800 orang, dan bisa terus bertambah kalau semua pihak tidak berupaya menanggulangi penyebarannya,” kata Ketua Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Banten Arief Mulyawan.
Selama periode Januari 1998-September 2010, jumlah penderita penyakit yang hingga kini belum ditemukan obatnya itu, mencapai 92 orang.
Korban akibat penyakit mematikan itu, kemungkinan akan terus berjatuhan, mengingat masih banyaknya orang dengan HIV/Aids (Odha) di provinsi itu.
“Kemungkinan jumlah penderita HIV/AIDS yang meninggal akan bertambah hingga akhir 2010,” katanya.
Jumlah penderita HIV/AIDS setiap tahun terus meningkat, sehingga perlu adanya pencegahan mulai dari keluarga hingga lingkungan.
Yang memprihatinkan, sebagian besar penderita yang meninggal dunia tersebut berusia produktif atau berkisar 15 tahun-35 tahun.
Dari beberapa penyebab penularan HIV/AIDS yang paling dominan karena penggunaan jarum suntik secara bergantian, oleh para pencandu narkoba.
“Penggunaan jarum suntik narkoba tersebut tentu penularanya lebih cepat dibandingkan hubungan seks bebas dan lainnya,” katanya.
Sementara penularan penyakit HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas, menurut dia, relatif kecil karena banyak yang menggunakan kondom.
Di Kota Cilegon Provinsi Banten, sebanyak 12 orang Odha meninggal, setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah setempat selama beberapa waktu terakhir.
“Ada 12 penderita HIV/AIDS meninggal dunia setelah menjalani perawatan dirumah sakit,” kata Wakil Direktur Pelayanan RSUD Kota Cilegon Dr Indera Adriani.
Secara grafik penderita HIV/AIDS di Kota Cilegon yang dirawat di RSUD terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Sejak 2009 hingga Nopember 2010 ini tercatat sebanyak 41 orang terinfeksi HIV/AIDS. Dari jumlah itu, sebagian besar diantaranya tertular dari penggunaan jarum suntik dan hubungan seks bebas yang tidak aman,” katanya menjelaskan.
Berdasarkan data yang ada, penderita HIV/AIDS setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama, tahun 2010 meningkat tajam jumlahnya.
“Pada 2009 hanya tercatat sebanyak 22 pasien penderita AIDS. Umumnya penderita HIV/AIDS itu laki-laki dan pasangan gay, berusia mulai 25 hingga 39 tahun,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Dais Iskandar, menjelaskan tiga penderita HIV/AIDS di daerah meninggal selama 2010.
“Pada 2010, kita mendapat laporan tiga orang penderita HIV/AIDS meninggal, berarti dalam tiga tahun terakhir ini sudah 14 penderita yang meninggal,” katany.
Ia juga menjelaskan, selama 2010 tidak ada temuan baru penderita HIV/AIDS, dan yang dilaporkan meninggal itu, kemungkinan penderita yang terjangkit penyakit itu pada tahun sebelumnya.
Sejak 2004 Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang menemukan 19 penderita HIV/AIDS dan 11 di antaranya terindentifikasi pada 2008 dan 2009, tahun ini tidak ada temuan baru.
“Khusus yang ditemukan pada 2008 sebanyak enam orang dan 2009 sebanyak lima orang, seluruhnya telah meninggal,” ujarnya.
Menurut dia, sebagian besar atau 80 persen penderita HIV/AIDS di daerah itu tertulur virus mematikan itu melalui jarum suntik, dan mereka merupakan korban dan penyelahgunaan Narkoba.
Ia juga menjelaskan, seluruh penderita itu merupakan warga setempat namun selama ini mereka merantau ke daerah lain bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
“Di perantuan itulah mereka terjangkit virus HIV/AIDS dan setelah penyakitnya parah kembali ke Pandeglang,” ujarnya.
Iskandar juga tidak memastikan jumlah penderita penyakit itu di daerah tersebut, bisa saja yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang terindentifikasi, karena gejalanya bagaikan gunung es yang tampak kecil dipermukaan tapi di bawahnya besar.
“Korban yang terindentifikasi itu karena mereka berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Berkah atau Puskesmas, sedangkan yang tidak memeriksanakan diri tidak diketahui,” tegasnya.
Dais juga menjelaskan, dari 14 orang penderita HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang yang meninggal dunia, satu di antaranya merupakan anak berusia di bawah tujuh tahun.
“Penderita HIV/AIDS yang terindentifikasi meninggal dunia merupakan anak-anak yang usianya masih di bawah tujuh tahun,” kata Dais Iskandar.
Anak malang itu meninggal setelah dinyatakan terinfeksi penyakit itu, karena tertular dari orang tuanya yang memang terjangkit virus tersebut.
“Ibu dari anak itu merupakan pekerja seks komersial (PSK), karena itu ketika melahirkan anaknya juga tertular penyakit itu dan setelah berusia tujuh tahun akhirnya meninggal,” katanya. B/Z003 (T.S031/B/Z003/Z003) 05-02-2011 11:39:18 NNNN

Puskesmas Bangkonol Sosialisasi PHBS di Pontren


PUSKESMAS Bangkonol Kecamatan Koroncong menggelar sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Pondok Pesantren (Pontren) Nurul Huda Al-Hasani Desa Koroncong, Senin (28/11) kemarin.
Menurut Kepala Puskesmas Bangkonol, Hj. Umbiyati, SKM kegiatan sosialisasi PHBS ditujukan bagi santri dan pengurus Pontren untuk lebih peduli terhadap kesehatan diri dan lingkungannya.
“Hidup sehat bukan hanya milik sebagian orang, tapi harus dinikmati seluruh masyarakat, termasuk kalangan pondok pesantren (Pontren),” katanya.
Agar bisa menjaga kesehatan, ujar Umbiyati, santri dan pengurus Pontren perlu menerapkan PHBS di lingkungan pontren seperti selalu menggunakan air bersih, membuang air besar (BAB) di jamban yang sehat serta membiasakan cuci tangan dengan air bersih memakai sabun.
“Kami juga mengajak para santri untuk secara rutin melakukan pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan pondok seminggu sekali untuk menghindarkan diri dari penyakit demam berdarah,” tuturnya.
Selain itu, ungkap Umbiyati, santri diberikan pengetahuan tentang pentingnya aktivitas fisik dan olah raga secara teratur, mengkonsumsi makanan beragam dan seimbang serta menghindarkan diri dari merokok di dalam ruangan. “Saya sampaikan kalau merokok itu tidak baik bagi kesehatan dan sebaiknya kalaupun merokok tidak didalam kobong atau ruangan tertutup,” imbuhnya.
Kegiatan sosialisasi yang diikuti  sekitar 50 santri ini, tampak hadir sejumlah stap puskesmas, bidan desa Koroncong, nara sumber kabupaten dan pimpinan pondok pesantren.
Sementara itu, pimpinan Pontren Nurul Huda Al-Hasani Kampung Ratu Desa/Kecamatan Koroncong KH. Hasan Bisri mengaku mendukung langkah yang dilakukan puskesmas memberikan penyuluhan kesehatan. Dia bahkan berminat untuk bekerja sama dengan puskesmas meningkatkan kesehatan santri dengan pelayanan pengobatan. “Kedepan kami berharap petugas puskesmas datang secara rutin setiap pekan atau sebulan sekali memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan pada santri,” harapnya.