Tema TB day ini cukup berat untuk diwujudkan, karena kita harus
melakukan upaya yang cukup besar dalam menjangkau, memeriksa dan mengobati .
Ada 3 juta penderita TB yang belum mengatakan Indonesia bebas TB, dengan
menemukan dan mengobati TB di seluruh Indonesia. Amanat Bapak Presiden dengan
Nawa Cita-nya bahwa agar kita menghadirkan negara untuk melindungi segenap
bangsa dan negara. Masih banyak tantangan yang masih harus disikapi. Dari
indikator MDGS berhasil menurunkan insiden dan prevalensi. Insiden turun 45%
dari tahun 1990 sampai dengan 2010. prevelance 35%, dan angka
kematian TB turun hingga 71%.
Lalu, benarkah TB berselingkuh dengan perokok? Jawabannya, tidak selalu
benar, meski kecenderungannya ternyata cukup tinggi. Hal itu dibuktikan oleh
beberapa penelitian, di antaranya seperti yang dilakukan Hsien-Ho Lin dan
timnya dari Harvard School of Public Health, Amerika Serikat.
Lin menyatakan bukti hubungan antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan
polusi udara di dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara terhadap risiko
infeksi, penyakit, dan kematian akibat TBC. Dari sekitar 100 orang yang
diteliti, ditemukan yang merokok tembakau dan menderita TBC sebanyak 33 orang,
perokok pasif dan menderita TBC 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan
menderita TBC 5 orang. Penelitian lain dilakukan di Afrika Selatan menunjukkan
kaitan antara perokok pasif dan meningkatnya risiko infeksi Mycobacterium tuberculosis
pada anak yang tinggal serumah dengan penderita TBC.
Dr. Saskia den Boon dari KNCV Tuberculosis Foundation di Belanda menulis hasil
penelitian mereka dalam jurnal Pediatric edisi April 2007. Ia mengungkapkan
tuberkulosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan. Kaitan perokok pasif dan infeksi TBC pada anak menjadikannya bahan
pemikiran yang sangat penting, mengingat tingginya prevalensi merokok dan
tuberkulosis di negara berkembang.
Di India, merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta warganya di usia
produktifnya pada 2010. Penelitian itu juga menunjukkan, kebiasaan tersebut
menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC, penyakit saluran
pernapasan, dan jantung.
Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian resmi yang mengungkapkan
"perselingkuhan" antara rokok dan TBC, tetapi fakta di lapangan dapat
memberikan gambaran bahwa hubungan itu memang ada. Setidaknya prevalensi
penderita TBC yang berobat di pusat pengobatan TBC RS Persahabatan yang punya
kebiasaan merokok lebih besar dibandingkan yang tidak.
Banyak orang, terutama perokok, bakal menyangkal keras perselingkuhan
antara rokok dan TBC. Percayalah, sudah banyak fakta mengungkapkan bahwa
kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko TBC.
Fakta berbicara, tembakau merupakan penyebab kematian lima terbesar di dunia.
Satu di antara 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia disebabkan kebiasaan
merokok (sekitar 5 juta kematian tiap tahun). Bila pola merokok ini terus
berlanjut, sampai tahun 2020 diperkirakan akan ada 10 juta kematian.
Setidaknya kini lebih dari 1 miliar orang termasuk pemakai
tembakau aktif (70 persen di antaranya berada di negara berpenghasilan rendah)
di mana setengahnya akhirnya meninggal oleh tembakau. Tak heran, dalam 50 tahun
ke depan diperkirakan 450 juta orang akan meninggal karena tembakau.
Selain itu, tembakau -sebutan lain rokok- merupakan faktor risiko keempat
timbulnya semua jenis penyakit di dunia. Pemakaian tembakau merupakan penyebab
utama kematian pada penyakit berat seperti penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), kanker paru, aneurisma aorta, penyakit jantung koroner, kanker kandung
kemih, kanker saluran pernapasan bagian atas, dan kanker pankreas.
Hasil survei tahun 2006 menyebutkan, di Indonesia jumlah seluruh perokok tak
kurang dari 160 juta orang (hampir 70 persen dari populasi) dan sekitar 22,6
persen dari 3.320 kematian disebabkan penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan
merokok.
Kenyataan lain memperlihatkan kondisi memprihatinkan, lebih dari 45 juta anak
(usia 0-14 tahun) tinggal bersama perokok. Padahal, anak-anak yang kerap
terpapar asap rokok akan mengalami pertumbuhan paru yang kurang normal dan
lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan serta penyakit asma.
Terbukti Berhubungan
Studi pada pekerja perkebunan di California, AS, menemukan hubungan bermakna
antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin dan kebiasaan merokok. Pada bekas
perokok, hubungan ini lebih kuat daripada mereka yang masih merokok. Data lain
menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan tuberkulosis aktif,
hasilnya hanya bermakna pada mereka yang telah merokok lebih dari 20 tahun.
Di AS, para perokok yang telah merokok 20 tahun atau lebih ternyata 2,6 kali
lebih sering menderita TBC daripada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok
meningkatkan mortalitas akibat TBC sebesar 2,8 kali.
Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan rasio mortalitas pada penyakit
jantung iskemik (1,6 kali) dan penyakit serebrovaskular (1,5 kali), walaupun
memang jauh lebih rendah dari rasio mortalitas akibat kanker paru, yang 15 kali
lebih sering pada perokok dibandingkan bukan perokok.
Kaitan ini bisa dijelaskan bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak
mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang
berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok.
Asap rokok meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance). Akibatnya,
pembuluh darah di paru mudah bocor. Juga merusak sel pemakan bakteri pengganggu
dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke
dalam paru-paru, tidak ada pendeteksinya.
Berdasarkan hasil penelitian maupun survei, sebenarnya sudah cukup bukti
"perselingkuhan" rokok dan TBC. Meski bagi perokok dan sebagian orang
fakta ini tak berarti apa pun, cobalah lebih peduli dengan orang terdekat Anda.
Mungkin selama ini mereka yang sebenarnya menjadi korban
"perselingkuhan" itu.