SALAH satu masalah klasik terkait dengan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah tidak meratanya persebaran tenaga medis. Para dokter cenderung banyak berkumpul di kota-kota besar sehingga penduduk di daerah merasa kesulitan mendapat akses perawatan kesehatan.
Memang puskesmas sudah tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Namun tenaga ahli dan peralatan yang memadai masih menjadi PR besar yang perlu segera dibenahi, terutama untuk menyambut BPJS tahun 2014 nanti yang menjamin seluruh masyarakat Indonesia dapat tercakup oleh layanan kesehatan.
"Secara umum puskesmas sudah ada semuanya, hanya tinggal kualitasnya yang perlu ditingkatkan. Jadi gedungnya sudah ada, tapi dokernya atau alatnya belum. Tapi kalau primary helath care-nya di Indonesia sudah cukup merata di seluruh Indonesia," kata Slamet Riyadi Yuwono, Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI dalam kegiatan Lesson Learnt DHS2 Project di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (27/11/2012).
Menurut Slamet, kendala yang paling kentara dialami oleh daerah-daerah yang paling sulit dijangkau. Untuk daerah-daerah ini, diperlukan pendekatan tersendiri karena masalahnya lebih kompleks.
Misalnya ada 1 desa yang hanya berisi 10 kepala keluarga, tetapi letaknya amat jauh. Sebagai warga negara ia tetap memiliki hak untuk mendapat layanan kesehatan. Artinya, harus ada puskesmas. Namun mendirikan puskesmas hanya untuk 10 orang justru dapat mengakibatkan pemborosan.
"Oleh karena itu pendekatannya harus berbeda, misalnya menempatkan tenaga selama 3 bulan di desa atau sebagainya. Bisa juga ditempuh dengan model flying health care (layanan kesehatan lewat udara) atau mungkin penguatan kadernya," kata Slamet.
Saat ini, kementerian kesehatan juga tengah mengembangkan sistem yang disebut manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat untuk menangani balita sakit akibat pneumonia dan malaria. Praktiknya, kader di pelosok diperbolehkan memberikan obat untuk pasien sesak napas atau gejala penumonia dan malaria.
Selain itu, bisa juga dengan diadakan tugas belajar. Praktiknya, dokter puskesmas yang bertugas di daerah terpencil dan belum memiliki spesialis akan dilatih spesialisasi selama 6 semester, padahal pelatihan dokter spesialis umumnya adalah 8-10 semester. Setelah mendapat pelatihan, dokter tersebut akan dikembalikan ke daerah sambil dipantau.
Ada juga model sister hospital seperti yang kini diterapkan di NTT. Dari 24 kabupaten yang ada, sebanyak 14 kabupaten mengirim wakilnya untuk melakukan residensi ke rumah sakit. Wakil ini diajari spesialisasi obgyn, anastesi dan kedokteran anak dibiayai oleh daerah. Setelah selesai, dokter-dokter ini akan ditugaskan kembali ke daerah.
"Kita juga sedang menysun UU tenaga kesehatan supaya dokter-dokter yang ada bisa merata, tidak mengumpul di kota-kota besar. Jadi landasan hukumnya ada. Kalau dulu kan ada inpres, sekarang tidak ada lagi," pungkas Slamet. (pah/vit)
Sumber : detikHealth.com
Memang puskesmas sudah tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Namun tenaga ahli dan peralatan yang memadai masih menjadi PR besar yang perlu segera dibenahi, terutama untuk menyambut BPJS tahun 2014 nanti yang menjamin seluruh masyarakat Indonesia dapat tercakup oleh layanan kesehatan.
"Secara umum puskesmas sudah ada semuanya, hanya tinggal kualitasnya yang perlu ditingkatkan. Jadi gedungnya sudah ada, tapi dokernya atau alatnya belum. Tapi kalau primary helath care-nya di Indonesia sudah cukup merata di seluruh Indonesia," kata Slamet Riyadi Yuwono, Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI dalam kegiatan Lesson Learnt DHS2 Project di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (27/11/2012).
Menurut Slamet, kendala yang paling kentara dialami oleh daerah-daerah yang paling sulit dijangkau. Untuk daerah-daerah ini, diperlukan pendekatan tersendiri karena masalahnya lebih kompleks.
Misalnya ada 1 desa yang hanya berisi 10 kepala keluarga, tetapi letaknya amat jauh. Sebagai warga negara ia tetap memiliki hak untuk mendapat layanan kesehatan. Artinya, harus ada puskesmas. Namun mendirikan puskesmas hanya untuk 10 orang justru dapat mengakibatkan pemborosan.
"Oleh karena itu pendekatannya harus berbeda, misalnya menempatkan tenaga selama 3 bulan di desa atau sebagainya. Bisa juga ditempuh dengan model flying health care (layanan kesehatan lewat udara) atau mungkin penguatan kadernya," kata Slamet.
Saat ini, kementerian kesehatan juga tengah mengembangkan sistem yang disebut manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat untuk menangani balita sakit akibat pneumonia dan malaria. Praktiknya, kader di pelosok diperbolehkan memberikan obat untuk pasien sesak napas atau gejala penumonia dan malaria.
Selain itu, bisa juga dengan diadakan tugas belajar. Praktiknya, dokter puskesmas yang bertugas di daerah terpencil dan belum memiliki spesialis akan dilatih spesialisasi selama 6 semester, padahal pelatihan dokter spesialis umumnya adalah 8-10 semester. Setelah mendapat pelatihan, dokter tersebut akan dikembalikan ke daerah sambil dipantau.
Ada juga model sister hospital seperti yang kini diterapkan di NTT. Dari 24 kabupaten yang ada, sebanyak 14 kabupaten mengirim wakilnya untuk melakukan residensi ke rumah sakit. Wakil ini diajari spesialisasi obgyn, anastesi dan kedokteran anak dibiayai oleh daerah. Setelah selesai, dokter-dokter ini akan ditugaskan kembali ke daerah.
"Kita juga sedang menysun UU tenaga kesehatan supaya dokter-dokter yang ada bisa merata, tidak mengumpul di kota-kota besar. Jadi landasan hukumnya ada. Kalau dulu kan ada inpres, sekarang tidak ada lagi," pungkas Slamet. (pah/vit)
Sumber : detikHealth.com