5 Okt 2011

Lebih dari 40 Persen Puskesmas tak Punya Dokter

Lebih dari 40 persen puskesmas di Indonesia belum memiliki tenaga dokter. Ini dikhawatirkan menghambat target MDGs seperti angka kematian ibu. Demikian kata Staf Ahli Menteri Kesehatan Budi Sampurna. "Untuk mengatasi masalah ini, mulai tahun 2012, rekrutmen dokter PTT(Pegawai Tidak Tetap, red) akan ditingkatkan dan dengan masa tugas sekurang-kurangnya satu tahun," kata Staf Ahli Bidang Medikolegal Menteri Kesehatan Prof. Budi Sampurna dalam Muktamar VI Asosiasi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) di Mataram, Jumat. Ketika menyampaikan pidato Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, kemudian Budi Sampurna menyatakan saat ini kekurangan tenaga dokter puskesmas itu akan diisi dengan program PTT karena saat ini banyak dokter baru yang ingin cepat-cepat menyelesaikan masa baktinya di puskesmas sehingga pemahaman mereka tentang program-program kesehatan masih kurang. "Dengan pelaksanaan program PTT, maka pimpinan puskesmas umumnya bukan dokter sehingga para dokter hanya fokus pada aspek pengobatan saja," katanya. Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, target MDG poin ke-5 yaitu penurunan angka kematian ibu melahirkan belum tercapai. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia sebenarnya telah mulai mengalami penurunan yaitu dari 300 per 100.000 kelahiran hidup pada 20044 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada 2007. Namun angka tersebut masih jauh dari target MDG yang harus dicapai pada 2015 yaitu menurunkan angka kematian ibu melahirkan menjadi hanya 102 per 100.000 kelahiram hidup. Sumber : Yahoo Indonesia News

4 Okt 2011

70 Juta Warga Tak Miliki Akses Sanitasi

Sekitar 70 juta penduduk Indonesia dewasa ini belum memiliki akses terhadap sanitasi. Sekitar 19 juta orang di antaranya hidup di perkotaan dengan daya dukung lingkungan yang kritis.
Hal itu mengakibatkan lebih dari 14.000 ton tinja per hari dan 176.000 meter kubik urine per hari mencemari 75 persen sungai. Masyarakat pun harus membayar rata-rata 27 persen lebih mahal untuk air bersih perpipaan.
Demikian benang merah yang terungkap pada Konferensi Sanitasi Nasional 2009, Selasa (8/12) di Jakarta. Tampil sebagai narasumber adalah Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepa- la Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana.
Wakil Presiden Boediono pada saat pembukaan konferensi menegaskan, tahun 2014 ditargetkan tidak ada lagi orang Indonesia yang buang air besar sembarangan. Ia menyambut baik pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman demi mencapai target 2014.
”Pemerintah sudah meningkatkan perhatian terhadap pentingnya sanitasi dengan mengarusutamakan sanitasi dalam proses pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan meningkatkan alokasi anggaran penyediaan pelayanan sanitasi dasar,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Boediono, juga melibatkan masyarakat secara langsung, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Pihak swasta pun telah mulai berperan untuk membantu percepatan pembangunan.
Menteri Kesehatan mengatakan, akibat sanitasi yang buruk, dari setiap 1.000 bayi lahir, hampir 50 orang di antaranya meninggal karena diare sebelum usia 5 tahun.
”Sekitar 94 persen kasus diare disumbang oleh faktor lingkungan terkait dengan konsumsi air yang tidak sehat dan buruknya sanitasi. Selain diare, sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit kulit dan ISPA,” ujarnya.
Buruknya sanitasi juga turut menurunkan nilai Human Development Index (HDI). Indonesia, misalnya, hanya menempati urutan ke-41 dari 102 negara berkembang di dunia.
Berdasarkan studi Bank Dunia yang dilakukan tahun 2007, potensi kerugian ekonomi akibat sanitasi yang buruk sekitar Rp 58 triliun per tahun. Jumlah ini setara dengan 2,3 persen GDP.
Endang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir investasi untuk sanitasi sudah meningkat pesat, yaitu Rp 5.000 per kapita per tahun. Padahal investasi selama 30 tahun sebelumnya (1970- 2000) hanya mencapai Rp 200 per kapita per tahun. Namun, kebutuhan itu masih jauh dari ideal karena baru 10 persen dari kebutuhan pelayanan sanitasi dasar yang seharusnya, yakni Rp 47.000 per kapita per tahun.
”Angka yang amat timpang tersebut menunjukkan betapa jauhnya sanitasi Indonesia telah tertinggal,” kata Endang.
Armida Alisjahbana mengatakan, pemerintah telah merancang program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan yang akan dijalankan pada periode 2010-2014. Agar program ini dapat berjalan efektif, dibutuhkan dukungan nyata yang terintegrasi dari berbagai sektor terkait di kalangan pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat.
”Konferensi Sanitasi Nasional II menjadi salah satu upaya penggalangan dukungan dan penciptaan pemahaman nasional yang kali ini bermisi meluaskannya kepada pejabat provinsi, kota/kabupaten, masyarakat luas, serta kepada pemerintah pusat,” ungkapnya. (NAL)

Sumber : Kompas Online

3 Okt 2011

Sanitasi Perlu untuk Cegah Infeksi

Hingga Kamis (7/10), hujan masih turun dan mengakibatkan lingkungan basah serta lembab disertai merebaknya bau busuk dari jenazah korban banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat.
Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana diharapkan segera melakukan sanitasi lingkungan agar tak terjadi dampak penyakit infeksi akibat banjir bandang dan longsor di Wasior, 4 Oktober.
Hingga sore kemarin, jumlah korban yang ditemukan 92 jenazah, 837 orang luka, serta diidentifikasi 66 orang hilang.
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Budihardja Singgih, saat meninjau penanganan pascabanjir di Wasior, mengatakan, langkah itu diperlukan sebab sejak banjir melanda empat hari lalu di wilayah itu, hingga kini belum ditempuh langkah disinfeksi atau sanitasi lingkungan.
Budihardja mengakui, jika kondisi lingkungan dibiarkan seperti ini, dikhawatirkan muncul potensi ancaman dampak ikutan seperti berbagai penyakit infeksi. Luasan bencana banjir-longsor diperkirakan mencapai 9 kilometer persegi.
Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Papua Barat Decky Ampnir di Wasior mengatakan, langkah disinfeksi dilakukan mulai Jumat ini.
Evakuasi korban
Usaha evakuasi kemarin hanya berhasil mengangkat empat jenazah di Kampung Sanduay dan satu jenazah anak balita di Muara Sungai Anggris.
Selain mencatat 92 korban tewas, 837 orang luka, dan sekitar 66 orang hilang, tercatat pula 126 korban luka berat dan ringan telah dievakuasi dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire, Papua.
Di Manokwari, ibu kota Papua Barat, posko bencana Wasior mencatat 1.519 pengungsi telah tiba di Pelabuhan Manokwari menggunakan tiga kapal, KRI Kalakay-818, KM Papua 3, dan KM Gracelia.
Girah Sari (30), warga Wasior, saat menunggu kedatangan kapal perintis di Pelabuhan Wasior, mengaku memilih meninggalkan Wasior dan pulang ke kampung halamannya di Manokwari. Kondisi Wasior telah luluh lantak dan akan membuat hasil taninya tak akan terserap.
Di Cirebon, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, pihaknya telah mengirim bantuan makanan, obat- obatan, dan pakaian untuk korban banjir di Wasior dan dijadwalkan tiba Kamis malam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyumbang selimut, pakaian, obat-obatan, dan air, jumlahnya Rp 2 miliar.
Kementerian lain yang ikut membantu adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Perhubungan serta PMI. Sementara BNPB telah membangun tenda-tenda darurat untuk korban banjir. (ICH/NAR/THT/HAR)

Sumber : Kompas Online

2 Okt 2011

PPNI Desak Pergub Keperawatan


PANDEGLANG (KB).- Para Perawat yang bertugas di Provinsi Banten dan tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) meminta agar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah segera mengesahkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang keperawatan.
Pasalnya, hingga saat ini tugas perawat dan dokter sering berbenturan sehingga harus ada pemisahan dengan aturan yang tegas.
“Kami minta Gubernur segera mengesahkan Pergub keperawatan, karena sebelum disahkannya Pergub tugas perawat dan dokter akan terus berbenturan,” pinta Ketua PPNI Banten Dr Wahyudin dalam sambutan halal bihalal PPNI Pandeglang yang diselenggarakan di Pendopo Pemkab Pandeglang, Kamis (29/9).
Hadir dalam kesempatan ini Bupati Pandeglang H. Erwan Kurtubi dan Wakil Bupati Heryani serta para asisten di Lingkungan Setda Pandeglang.
Wahyudin menyatakan sebenarnya PPNI sudah lama mengajukan Pergub Keperawatan ke Provinsi Banten. Namun saampai sekarang Pergub belum juga disetujui sehingga di lapangan antara tugas perawat dan dokter sering tumpang tindih.
“Selain Pergub, ditingkat nasional perawat juga secara intens meminta agar ada Undang-Undang yang secara jelas soal perawat karena baru ada peraturan menteri yang mengatur tugas perawat. Adanya aturan yang jelas ini bertujuan untuk memaksimalkan kerja perawat,” kata Wahyudin.
Kepala Dinas Kesehatan Pandeglang Iskandar menyatakan, PPNI merupakan salah satu dari 26 organisasi profesi kesehatan yang ada di Pandeglang.  Menurunya, penyebaran perawat sudah merata di seluruh desa di Pandeglang.
“Jumlah perawat di Pandeglang tercatat ada 650 orang. Tugas perawat sangat vital dan menjadi ujung tombak dalam pelayanan kesehatan dasar baik itu di rumah sakit maupun di Puskesmas,” jelasnya.
Iskandar juga mengungkapkan, pihaknya akan terus memaksimalkan tempat perawatan salah satunya dengan meningkatkan Puskesmas Sumur dan Munjul menjadi Puskesmas perawatan.
Peningkatan pelayanan Puskesmas ini diharapkan memudahkan pasien atau masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan.
“Peningkatan sarana harus diikuti dengan kerja maksimal perawat,” harapnya.
Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi dalam sambutannya menyatakan mengapresiasi tugas perawat. Erwan juga berjanji akan memprioritaskan perawat yang statusnya masih TKK menjadi PNS.
“TKK yang sudah masuk dalam data base di BKN akan menjadi prioritas diangkat menjadi PNS. Namun kami juga meminta kepada para perawat  terus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat lebih baik lagi,” kata Erwan. (H-38)***

Sanitasi Buruk, Diare Bermunculan

Pada musim pancaroba penyebaran penyakit diare terjadi di sejumlah tempat di Tanah Air. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi perilaku hidup bersih dan buruknya sanitasi lingkungan.

Menurut Prof Firman Lubis dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas dan Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Kamis (3/9) di Jakarta, diare merupakan salah satu penyebab utama kematian pada bayi dan balita.

Sebelumnya diberitakan, diare melanda tiga kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan daerah selatan Kabupaten Pandeglang, Banten. Tercatat, ratusan warga terserang diare, bahkan sejumlah penderita meninggal.

”Pada musim kemarau, terutama saat pergantian musim, penyakit-penyakit infeksi, seperti diare, perlu diwaspadai,” kata Firman. Apabila pada musim hujan air kotor dan sampah terbawa air hujan, pada pergantian musim justru bermunculan genangan yang tercemar kuman.

Penularan diare mudah terjadi akibat perilaku hidup bersih dan sehat kurang membudaya. Banyak penduduk buang air besar sembarangan, bukan di jamban, sehingga sumber-sumber air tercemar.

”Apabila buang air besar sembarangan, kotoran mencemari air atau terbawa lalat lalu mencemari makanan,” ujarnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, lebih dari seperempat populasi Indonesia membuang tinja di sungai dan tanah. Menurut praktisi kesehatan, dr Handrawan Nadesul, beberapa waktu lalu, hal ini menyebabkan penyebaran penyakit menular lewat tinja meluas.

Hasil Studi Basic Human Services di Indonesia tahun 2006 menyatakan, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan setelah buang air besar hanya 12 persen, seusai membersihkan tinja bayi dan balita 9 persen. Responden yang mencuci tangan sebelum makan 14 persen, sebelum memberi makan bayi 7 persen, dan sebelum menyiapkan makanan 6 persen.

Padahal, perilaku buang air besar di jamban dan kebiasaan mencuci tangan merupakan cara efektif memutus rantai penularan diare. ”Pemerintah seharusnya tak hanya membangun jamban, tetapi juga mendidik dan memberi penyuluhan tentang perilaku hidup bersih, yaitu cuci tangan dan tidak buang air besar sembarangan,” kata Firman.

Selain itu, akses penduduk terhadap sanitasi perlu ditingkatkan. Menurut dr Abidisyah, Kepala Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, dalam makalahnya, perilaku hidup bersih dan sehat hanya bisa diwujudkan melalui kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta.

Sumber : Kompas Online

1 Okt 2011

Dinkes Ingatkan Warga Waspadai Demam Berdarah


Musim hujan segera tiba
PERIODE musim penghujan yang menurut ramalan cuaca mulai jatuh pada Bulan Oktober ini harus diwaspadai. Selain banjir musiman yang kerap terjadi disejumlah wilayah Pandeglang, peningkatan kasus Demam Berdarah (DB) harus diantisipasi warga.
 “Pandeglang  adalah salah satu kabupaten yang merupakan daerah endemis penyakit Demam Berdarah. Angka kejadian kasus DB masih tetap tinggi pada setiap tahunnya, dan jika tidak ada antisipasi warga pada musim penghujan setiap tahunnya selalu terjadi peningkatan kasus bahkan ada beberapa penderita meninggal dunia,”  kata Kadinkes Iskandar, Jum’at (30/9). 
Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang menyebabkan siklus penyakit DB cenderung meningkat pada saat musim penghujan diantaranya kelembaban udara yang tinggi di musim penghujan merupakan iklim yang sangat baik dan disenangi bagi nyamuk Aedes Aegypti untuk berkembang biak.
“Media perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti yaitu adanya air jernih yang tergenang dan tidak berhubungan dengan tanah cenderung meningkat dan banyak tersedia di saat musim penghujan, hal ini dikarenakan banyaknya tempat-tempat yang dapat menampung air yang terisi air hujan, sehingga menjadi media yang sangat baik bagi nyamuk Aedes Aegypti,” jelasnya.
Selain daripada itu, lanjut Iskandar, faktor lainnya yakni kondisi fisik dan daya tahan tubuh manusia yang menurun. “Ini akibat di musim penghujan biasanya ada peningkatan kasus Influenza, ISPA dan Diare yang menurunkan daya tahan tubuh. Sehingga apabila digigit nyamuk pembawa virus dengue lebih mudah terjadinya penyakit DB,” ungkapnya. 
Untuk itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang mengingatkan warga untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan melalui gerakan 3 M yaitu menutup, menguras dan mengubur yang dilakukan dengan benar, secara bersama-sama dan kontinyu.
“Mungkin jargon 3M sudah terlalu sering kita dengar, dan seiring itu pula terlalu sering kita abaikan. Padahal sesungguhnya jika kita memahami dengan benar kekuatan sesungguhnya dari gerakan 3M itu, maka itulah senjata paling ampuh mencegah jatuhnya korban DB di lingkungan kita,” tegasnya. 
Dia berharap warga Pandeglang lebih menyadari manfaat dari menjaga kesehatan lingkungan dan lebih baik lagi jika benar-benar menjadi budaya di masyarakat, karena upaya ini akan menjadi pemutusan rantai siklus perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti.
“Nyamuk aedes dewasa tidak memiliki ruang atau tempat untuk melakukan perkembangbiakan, sementara jentik-jentik nyamuk yang ada sudah dibasmi dan dibersihkan. Nyamuk aedes aegypti dewasa memiliki umur hidup yang tidak terlalu lama sehingga perlahan-lahan akan musnah dengan sendirinya,” ungkapnya.
Ditambahkan, dengan terkendalinya vektor nyamuk pembawa virus dengue ini, maka penyakit DB dengan sendirinya akan ikut terkendali. Karena satu-satunya jalan penularan virus dengue ke tubuh manusia hanyalah melalui perantara nyamuk aedes tadi.

Informasi terkait : Terjangkit DBD, Dua Warga Pandeglang Meninggal

Iklan Sanitasi Harus Lebih Dramatis

Untuk menyadarkan masyarakat tentang bahayanya sanitasi yang buruk, maka iklan sanitasi harus lebih dramatis dan lebih tajam lagi mengenai berbagai kerugian yang akan ditanggung masyarakat jika menyepelekan masalah sanitasi.
 
Demikian dikatakan Aviliani, peneliti INDEF, sekaligus komisaris independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jakarta, Jumat (26/6).
 
"Bikin iklan yang dramatis, agar memperikan dampak bagi penonton. Seperti iklan HIV atau penyakit mematikan lain," imbuhnya.
 
Kondisi sanitasi yang buruk menyebabkan kerugian sebesar Rp 58 triliun per tahun, untuk menutup biaya pengobatan, perawatan kesehatan, kematian bayi dan hilangnya waktu produktif.
 
 
Buruknya sanitasi, kata Aviliani, tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat sendiri. Tak hanya itu, pemerintah daerah juga belum peduli tentang masalah sanitasi di daerahnya. "Tata ruang di desa tidak bagus, itu berpengaruh pada sanitasi juga. Selain itu tidak ada koordinasi yang baik antardaerah, saling tumpang tindih," terangnya.
 
Untuk mengatasi masalah tersebut, Aviliani menyarankan beberapa hal. Yang pertama adalah pemerintah harus melakukan sosialiasi kepada masyarakat. "Budaya masyarakat hanya dapat diubah dengan cara sosialisasi secara terus menerus. Depkes juga harus menyiapkan anggaran tambahan bagi kesehatan," terangnya.
 
Ia menerangkan, pemerintah daerah juga harus ketat dalam mengawasi tata letak daerahnya. "Jangan hanya mengeluarkan IMB, tapi ditinjau dulu sanitasinya sudah baik atau belum," tuturnya.
 
Cara selanjutnya adalah dengan menggandeng pihak swasta. "Swasta harus memasukan anggaran untuk sanitasi dalam buku besar mereka, itu akan membantu memperbaiki sanitasi yang terlanjur buruk," urainya.
 
Jika kesemuanya dilakukan, Aviliani meyakini sanitasi akan menjadi lebih baik dan negara dapat melakukan penghematan. "Dengan kondisi sanitasi baik pemerintah dapat melakukan penghematan sebesar Rp 40 triliun per tahun,"pungkas dia.

Sumber : Kompas Online