13 Jun 2011

Humas Kesehatan Mendobrak Kebekuan : Promosi Kesehatan (PK) Versus Komunikasi Publik (KP)


Promosi Kesehatan = ABG
"sementara ini memang institusi kesehatan di daerah belum memiliki struktural yang menangani kehumasan. kalaupun ada, setidaknya sudah dijalankan oleh fungsi sekretarisdinas kesehatan.
yang selama ini terstruktural adalah fungsi promosi kesehatan, ini dimiliki institusi kesehatan mulai puskesmas [kecamatan] hingga depkes [pusat], fungsi inipun belum menjadi prioritas, sebab dari sisi anggaran hanya memperoleh nomor urut terbawah diantara puluhan bahkan ratusan program kesehatan untuk masyarakat.

fungsi kehumasan yang saya fahami memang berbeda dengan fungsi promosi kesehatan yang saat ini dijalankan disetiap jenjang administrasi. promosi kesehatan[PK] difokuskan pada upaya dan langkah-langkah kegiatan berdasarkan strategi Advocasi, Bina suasana dan Gerakan pemberdayaan masyarakat [ABG]. sedangkan fungsi kehumasan identik dengan dengan aktivitas kegiatan komunikasi publik [KP] atau menjalankan fungsi publict relations [PR].

sehingga tidak mengherankan di tingkat pusat [depkes pen] selain ada PK juga ada KP. sayangnya hal tersebut hingga kini belum menular ditingkat daerah, walaupun semua kita tahu peran kehumasan penting tidak hanya di institusi kesehatan, melainkan pada seluruh intistusi pelayanan masyarakat. menurut saya, titik pangkal persoalan kehumasan kesehatan [KP] yang saya amati dari sejumlah dinkes kabupaten/kota maupun propinsi di indonesia adalah political will pemerintah daerah. jadi, semakin pemda menganggap pelayanan kesehatan itu sangat penting, maka dengan sendirinya fungsi kehumasan kesehatan semakin berjalan, seiring dengan dinamika yang ada di masyarakat. walaupun tampa struktur kehumasan kesehatan..."(habis)
bagian 3 dari 3 tulisan ini adalah komentar topik  humas kesehatan mendobrak kebekuan yang dirilis melalui situs jejaring sosial
sumber: bagian humas setda Pandeglang

Humas Kesehatan Mendobrak Kebekuan : UU KIP Merupakan Berkah bagi Praktisi Humas

UU No.14/2008 tentang KIP
Ikhlas, memang mudah diucapkan, tapi sulit melaksanakannya. Untuk urusan ini memang harus ada perubahan cara ber­fikir pada diri praktisi humas kesehatan. Merubah cara bekerja atas dasar per­mintaan atau perintah. Menjadi bekerja atas dasar kesadaran dan tanggung jaw­ab. Dengan cara seperti ini publik akan merasa terlayani, jikapun ada kekuran­gan mereka tidak merasa terdzalimi. Mengapa ? karena publik sudah merasa terlayani, kemudian memaklumi jika ...

Dr. Ermil Thabrani. Er­mil menjelaskan bahwa keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik ( KIP) merupakan berkah bagi praktisi humas. Sebab dengan adanya UU KIP tersebut, humas harus selalu terlibat langsung atau tidak langsung dalam setiap pen­gambilan keputusan. Dengan demikian, humas akan selalu berdekatan dengan pimpinan, kapan dan dimanapun.

Profesional, sama halnya dengan ikh­las. Mudah mengucapkan sulit melak­sanakannya. Sebab profesionalisme humas, tidak dapat berdiri sendiri. Tapi harus ada seperangkat pendukung lain­ya. Pertama, peningkatan kemampuan SDM Humas kesehatan. Saat ini memang praktisi masih memerlukan peningka­tan melalui pendidikan dan pelatihan tentang kehumasan. 


Kedua, mencukupi sarana pendukung operasional praktisi humas. Sarana itu berupa camera, tape recorder, video shoting serta sarana pendukung lainnya. Kemudian yang ti­dak kalah pentingnya adalah biaya op­erasional juga harus disediakan dalam DIPA secara rutin setiap tahunnya. 

Keti­ga, pembiasaan melakukan kerja kehu­masan memerlukan pembiasaan. Sebab dengan pembiasaan, maka ilmu yang dimiliki akan terus bertambah mengi­kuti perkembangan zaman. 

Keempat, struktural humas. Sekalipun paling ren­dah, keberadaan struktur humas sangat diperlukan. Melalui struktur tersebut para praktisi humas menginduk. Bahkan melalui struktur ini mengusulkan angg­aran penunjang, media jalur komunikasi dan berkonsolidasi.

Pelan, tapi pasti, jika praktisi humas kesehatan berusaha memenuhi per­syaratan di atas, maka kebekuan kehu­masan kesehatan akan segera cair. Apa­lagi sejak tahun 2005 melalui SK Menkes telah dibentuk Pusat Komunikasi Publik. Sebuah lembaga yang mempunyai tu­gas pokok dan fungsi mengkoordinir komunikasi dan publikasi kesehatan. Dengan demikian, sudah saatnya selu­ruh praktisi humas kesehatan di pusat dan di daerah saling bergandengan tan­gan untuk memacu diri meningkatkan kemampuan. Bersinergi dalam tugas, berbagi dalam pengetahuan dan ber­juang untuk profesi humas kesehatan. Jika ini terlaksana, maka profesi humas kesehatan akan menjadi bagian institusi pemerintah yang bermartabat dihada­pan publik karena masyarakat maupun intitusi merasakan manfaatnya. Sehing­ga citra positif institusi Departemen Kesehatan segera menjadi kenyataan. Wallahu a’lam..... (bersambung)


Topik ini bagian kedua dari tiga tulisan yang pernah dipublikasikan melalui situs jejaring sosial Facebook pada 2010

Sumber: Bagian Humas Setda Pandeglang  
 

Humas Kesehatan Mendobrak Kebekuan

KOMUNIKASI PUBLIK
Gelap. Tak ada sinar. Semua diam, menunggu ketidakpastian. Itu­lah suasana batin kehumasan pemerintah. Sangat sedikit pencerahan, bahkan hanya berada dipojok-pojok kantor yang bau apek. Tidak sedikit yang mendapat ruang di bawah tangga, dari sebuah kantor yang besar dan megah. Seolah tak berguna. 
 
Bahkan dibeberapa Dinas Kesehatan seperti anak ayam ke­hilangan induk. Bingung, entah kemana harus mengadu. Secara struktural tidak ada cantolannya, tapi funsionalnya ha­rus dikerjakan, walau tak berjabatan fungsional. Seperti itulah kondisi humas kesehatan kita.

Ternyata, kebingungan itu masih terus berlanjut. Beberapa praktisi humas kesehatan daerah seperti terasing di institusinya. Sebab tugas pokok dan fungsi kehumasan tidak didukung pen­getahuan dan sarana yang cukup. Lebih sering mereka sebagai petugas kliping koran. Sementara kliping itu tak pernah dijadikan acuan untuk mengambil kebi­jakan oleh pimpinan. 

Bahkan ada yang berfungsi seperti petugas kebakaran. Jika sudah ada masalah dengan publik, maka petugas humas yang harus meng­hadapi. Ada juga praktisi humas kes­ehatan ini, secara fisik berada di Dinas Kesehatan, tapi secara fungsional kehu­masan berhubungan dengan Pemerin­tah Daerah. Kalau kedua intitusi men­dukung, memang untung. Repotnya, kalau keduanya saling lempar tanggung jawab, sehingga peran kehumasan tak terakomodir di Dinas Kesehatan mau­pun Pemda.

Keberadaan humas kesehatan di atas tidak boleh berkepanjangan. Hal itu terungkap dalam Pertemuan Nasi­onal Humas Kesehatan, 19-22 oktober 2008 di Surabaya. Optimisme peserta pertemuan sangat besar untuk bang­kit dari keterpurukan. 

Apalagi setelah mendapat penjelasan Peran Humas Pemerintah dalam Keterbukaan Infor­masi Publik oleh Dr. Ermil Thabrani. Er­mil menjelaskan bahwa keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik ( KIP) merupakan berkah bagi praktisi humas. Sebab dengan adanya UU KIP tersebut, humas harus selalu terlibat langsung atau tidak langsung dalam setiap pen­gambilan keputusan. Dengan demikian, humas akan selalu berdekatan dengan pimpinan, kapan dan dimanapun.

Wajar, jika peserta pertemuan humas kemudian merekomendasikan pemben­tukan kelembagaan humas kesehatan. Kelembagaan yang diusulkan adalah model struktural minimal unit hu­mas kesehatan. Dengan kelembagaan ini diharapkan praktisi humas dapat mengembangkan kerja sama dalam bidang komunikasi, informasi dan pengembangan SDM humas kesehatan­nya. Bahkan mereka juga bersemangat untuk menggalang komunikasi intensif lewat dunia maya.

Kedepan, lembaga kehumasan menjadi bagian penting dalam kancah peny­elenggaraan pemerintahan yang bersih. Oleh sebab itu, institusi dan fungsion­alnya harus berubah. Terutama para­digma dan penampilan para praktisi ke­humasannya, demikian penegasan Drs Subagiyo, Direktur Kelembagaan Komu­nikasi Pemerintah Dekominfo. 

Praktisi humas harus tampil menarik, wangi dan simpatik. Siap memberi pelayanan in­formasi kepada publik dengan sepenuh hati. Keikhlasan dan profesionalisme sebagai acuan kinerjanya. Jika ini diter­apkan, maka langkah mendobrak ke­bekuan humas kesehatan sudah dimu­lai.... bersambung

bagian pertama topik ini pernah dipublikasikan setahun lalu disitus jejaring sosial Facebook
 
Sumber: Bagian Humas Setda Pandeglang

12 Jun 2011

Dugaan Pelanggaran Disiplin Terbanyak Akibat Kurangnya Komunikasi Dokter dan Pasien

Dugaan Malpraktek
Kurangnya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien menjadi penyebab banyaknya  pengaduan dugaan pelanggaran disiplin (masyarakat menyebutnya dugaan malpraktik) oleh dokter dan dokter gigi, kata Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada acara temu media di Kantor Kementerian Kesehatan tanggal 20 Mei 2011 yang juga dihadiri  Ketua MKDI, Prof. Dr. Ali Baziad, Sp.OG.

“Akibatnya meski dokter sudah menjalankan tugas sesuai standar pelayanan, standar profesi maupun standar operasional prosedur, namun ada kalanya pasien tetap merasa dirugikan karena hasil terapi tidak sesuai seperti yang diharapkan”, tambahnya.

Hingga Maret 2011, MKDKI telah menangani  127 pengaduan kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi. Dari angka tersebut, sekitar 80 persen disebabkan kurangnya komunikasi antara dokter dan pasien. Bila dirinci disiplin ilmu yang diadukan, yang paling banyak adalah dokter umum (48 kasus), dokter ahli bedah (33 kasus), dokter ahli kandungan dan kebidanan (20 kasus), dokter ahli anak (11 kasus), dokter ahli penyakit dalam (10 kasus), dokter ahli paru (4 kasus), dokter ahli syaraf (4 kasus), dokter ahli anestesi (4 kasus), dokter ahli mata (3 kasus), dokter ahli jantung (3 kasus), dokter ahli radiologi (2 kasus), dan masing-masing 1 kasus oleh dokter ahli jiwa, ahli THT dan ahli kulit dan kelamin serta 10 dokter gigi.

Berdasarkan sumber pengaduan, kata Dr. Sabir Alwy, terbanyak disampaikan oleh masyarakat yaitu  119 kasus, disusul oleh Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan 4 kasus, tenaga kesehatan 2 kasus dan masing-masing 1 kasus pengaduan dari institusi pelayanan kesehatan dan pihak asuransi.

Menurut Dr. Sabir Alwy, keterampilan dokter dalam menyampaikan informasi menjadi kunci dalam situasi semacam ini. Jika dokter tidak cakap berkomunikasi, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman yang berbuntut pada pengaduan oleh pasien baik ke MKDKI ataupun langsung ke aparat  hukum.

"Dalam satu kasus, bayi meninggal di ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU). Dokter hanya menyampaikan kepada pasien telah terjadi kekurangan oksigen, sehingga keluarga pasien tidak terima. Padahal maksud si dokter adalah ketidakmampuan paru-paru si bayi untuk menerima oksigen," ungkap  Dr. Sabir Alwy, SH, MH.

Seandainya yang terjadi adalah pasokan oksigen di ruang NICU habis, maka MKDKI bisa menilainya sebagai pelanggaran disiplin sehingga dokter yang bersangkutan bisa dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) sampai dengan mengikuti pendidikan/pelatihan ulang atau reschooling. Namun karena yang terjadi hanya kurang komunikasi, MKDKI hanya akan memberikan teguran dan pembinaan.

Dr. Sabir menambahkan, 80 persen pengaduan yang diterima MKDKI berawal dari kondisi gagalnya komunikasi ini. Tak heran dari 42 pengaduan yang sudah selesai ditangani MKDKI, hanya sekitar 50 persen yang diputuskan sebagai pelanggaran disiplin oleh dokter atau dokter gigi.

Sebaliknya menurut Dr. Sabir, kadang-kadang pasien tidak mempermasalahkan hasil terapi yang tidak memuaskan ketika dokternya pandai berkomunikasi meski ada kemungkinan terjadi pelanggaran disiplin. Hanya saja karena pasien tidak melapor, angkanya tidak pernah terpantau oleh MKDKI.
Sesuai tugas yang diatur Undang-undang, MKDKI hanya menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin yang diajukan. MKDKI sifatnya pasif, jadi kalau tidak ada laporan dari masyarakat maka MKDI tidak dapat menerapkan  sanksi.

“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Namun pada pelaksanaannya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran disiplin, ujar Dr. Sabir Alwy.

Sanksi

Terhadap dokter yang terbukti melanggar disiplin, MKDKI bisa menjatuhkan sanksi disiplin sesuai derajat kesalahannya. Mulai yang paling ringan berupa teguran, kewajiban untuk menempuh pendidikan ulang hingga pencabutan izin secara permanen.

Namun diakui oleh Dr. Sabir, hingga saat ini MKDKI belum pernah sekalipun menjatuhkan sanksi pencabutan izin secara permanen. Menurutnya, fungsi MKDKI adalah untuk pembinaan sehingga sanksi terberat hanya diberikan jika dokter yang melanggar dinilai sudah tidak mungkin dibina.

Dari sisi pembinaan, Dr. Sabir menilai MKDKI cukup berhasil menjalankan fungsinya. Terbukti dari sekian kasus yang diputuskan bersalah dan mendapatkan sanksi, belum pernah ada pelanggaran berulang atau dilakukan oleh dokter yang sama untuk kedua kalinya.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga yang berwenang untuk  menentukan ada dan tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

Dr. Sabir Alwy, SH, MH menambahkan kesalahan berdasarkan aturan hukum ada dua yaitu pelanggaran dan kesengajaan. Namun MKDKI hanya menangani pelanggaran yang berkaitan dengan standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur praktik kedokteran.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567, atau alamat e-mail : puskom.publik@yahoo.co.id; puskom.publik@yahoo.co.id, info@depkes.go.id; kontak@depkes.go.id.

Sumber : Kemenkes RI

Lindungi Generasi Muda Dari Bahaya Merokok

HTTS 31 Mei 2011
Pembangunan kesehatan mulai menghadapi pola penyakit baru, yaitu meningkatnya kasus penyakit tidak menular yang dipicu berubahnya gaya hidup masyarakat seperti pola makan rendah serat dan tinggi lemak serta konsumsi garam dan gula berlebih, kurang aktifitas fisik (olah raga) dan konsumsi rokok yang prevalensinya terus meningkat.

Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada puncak peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tahun 2011, di Taman Lalu Lintas Cibubur, Jakarta (31/05), yang mengangkat tema ”Melalui Regulasi Terbaik, Kita Lindungi Generasi Muda dari Bahaya Merokok”.

Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi merokok di Indonesia naik dari tahun ke tahun. Persentase pada penduduk berumur >15 tahun adalah 35,4 persen aktif merokok (65,3 persen laki-laki dan 5,6 persen wanita), artinya 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif.

Menurut Menkes, kecenderungan peningkatan jumlah perokok tersebut membawa konsekuensi jangka panjang, karena rokok berdampak terhadap kesehatan. Dampak kesehatan dari konsumsi rokok telah diketahui sejak dahulu.

Ada ribuan artikel yang membuktikan adanya hubungan kausal antara penggunaan rokok dengan terjadinya berbagai penyakit kanker, penyakit jantung, penyakit sistem saluran pernapasan, penyakit gangguan reproduksi dan kehamilan. Hal ini tidak mengherankan karena asap tembakau mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 43 bahan penyebab kanker (karsinogenik).

Saat ini semakin banyak generasi muda yang terpapar dengan asap rokok tanpa disadari terus menumpuk menjadi zat toksik dan karsinogenik yang bersifat fatal.

“Kondisi kesehatan yang buruk di usia dini akan menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa. Lebih bahaya lagi 85,4 persen perokok aktif merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam kesehatan anggota keluarga lainnya” tegas Menkes.

Menkes mengatakan, lebih dari 43  juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif. Menurut data The Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2006, 6 dari 10 pelajar di Indonesia terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Sebesar 37,3 persen pelajar dilaporkan biasa merokok, dan 3 diantara 10 pelajar pertama kali merokok pada usia dibawah 10 tahun. Hal ini dikarenakan, anak-anak dan kaum muda semakin dijejali dengan ajakan merokok oleh iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat gencar.

“Padahal, iklan sudah dilarang pada banyak negara di dunia termasuk di negara-negara ASEAN. Oleh karena itu tema HTTS tahun ini sangat tepat untuk mengingatkan agar kita dapat mengambil peran yang lebih besar guna melindungi generasi muda dari sifat fatalistik penggunaan dan paparan asap rokok,” ujar Menkes.

Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 tanggal 21 Mei 2003 di Jenewa, 192 negara anggota WHO dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC). Tujuannya, melindungi generasi muda sekarang dan mendatang dari masalah kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi rokok dan  paparan asap rokok.

”Walaupun belum meratifikasi FCTC, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam pengendalian masalah kesehatan akibat tembakau/rokok, yaitu: Mengembangkan regulasi pengendalian tembakau; Membangun jejaring kerja dengan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat madani dalam pengendalian tembakau; Melakukan inisiasi pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah; Mengembangkan KIE melalui media masa; Melakukan peningkatan kapasitas tingkat nasional dan lokal, dan membentuk Aliansi Bupati Walikota dalam pengendalian tembakau dan penyakit tidak menular”, kata Menkes.

Pada kesempatan tersebut Menkes menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Gubernur DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya yang telah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Peraturan Daerah. Saat ini telah 25 Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia yang memiliki kebijakan/peraturan terkait KTR.

Menkes menegaskan, upaya perlindungan generasi muda terhadap bahaya rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat madani, LSM, Akademisi, Parlemen maupun Pemerintah dan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567, atau alamat e-mail: puskom.publik@yahoo.co.id; puskom.publik@yahoo.co.id, info@depkes.go.id; kontak@depkes.go.id.Pembangunan kesehatan mulai menghadapi pola penyakit baru, yaitu meningkatnya kasus penyakit tidak menular yang dipicu berubahnya gaya hidup masyarakat seperti pola makan rendah serat dan tinggi lemak serta konsumsi garam dan gula berlebih, kurang aktifitas fisik (olah raga) dan konsumsi rokok yang prevalensinya terus meningkat.

Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada puncak peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tahun 2011, di Taman Lalu Lintas Cibubur, Jakarta (31/05), yang mengangkat tema ”Melalui Regulasi Terbaik, Kita Lindungi Generasi Muda dari Bahaya Merokok”.

Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi merokok di Indonesia naik dari tahun ke tahun. Persentase pada penduduk berumur >15 tahun adalah 35,4 persen aktif merokok (65,3 persen laki-laki dan 5,6 persen wanita), artinya 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif.

Menurut Menkes, kecenderungan peningkatan jumlah perokok tersebut membawa konsekuensi jangka panjang, karena rokok berdampak terhadap kesehatan. Dampak kesehatan dari konsumsi rokok telah diketahui sejak dahulu.

Ada ribuan artikel yang membuktikan adanya hubungan kausal antara penggunaan rokok dengan terjadinya berbagai penyakit kanker, penyakit jantung, penyakit sistem saluran pernapasan, penyakit gangguan reproduksi dan kehamilan. Hal ini tidak mengherankan karena asap tembakau mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 43 bahan penyebab kanker (karsinogenik).

Saat ini semakin banyak generasi muda yang terpapar dengan asap rokok tanpa disadari terus menumpuk menjadi zat toksik dan karsinogenik yang bersifat fatal.

“Kondisi kesehatan yang buruk di usia dini akan menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa. Lebih bahaya lagi 85,4 persen perokok aktif merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam kesehatan anggota keluarga lainnya” tegas Menkes.

Menkes mengatakan, lebih dari 43  juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif. Menurut data The Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2006, 6 dari 10 pelajar di Indonesia terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Sebesar 37,3 persen pelajar dilaporkan biasa merokok, dan 3 diantara 10 pelajar pertama kali merokok pada usia dibawah 10 tahun. Hal ini dikarenakan, anak-anak dan kaum muda semakin dijejali dengan ajakan merokok oleh iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat gencar.

“Padahal, iklan sudah dilarang pada banyak negara di dunia termasuk di negara-negara ASEAN. Oleh karena itu tema HTTS tahun ini sangat tepat untuk mengingatkan agar kita dapat mengambil peran yang lebih besar guna melindungi generasi muda dari sifat fatalistik penggunaan dan paparan asap rokok,” ujar Menkes.

Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 tanggal 21 Mei 2003 di Jenewa, 192 negara anggota WHO dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC). Tujuannya, melindungi generasi muda sekarang dan mendatang dari masalah kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi rokok dan  paparan asap rokok.

”Walaupun belum meratifikasi FCTC, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam pengendalian masalah kesehatan akibat tembakau/rokok, yaitu: Mengembangkan regulasi pengendalian tembakau; Membangun jejaring kerja dengan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat madani dalam pengendalian tembakau; Melakukan inisiasi pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah; Mengembangkan KIE melalui media masa; Melakukan peningkatan kapasitas tingkat nasional dan lokal, dan membentuk Aliansi Bupati Walikota dalam pengendalian tembakau dan penyakit tidak menular”, kata Menkes.

Pada kesempatan tersebut Menkes menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Gubernur DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya yang telah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Peraturan Daerah. Saat ini telah 25 Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia yang memiliki kebijakan/peraturan terkait KTR.

Menkes menegaskan, upaya perlindungan generasi muda terhadap bahaya rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat madani, LSM, Akademisi, Parlemen maupun Pemerintah dan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567, atau alamat e-mail: puskom.publik@yahoo.co.id; puskom.publik@yahoo.co.id, info@depkes.go.id; kontak@depkes.go.id.

Sumber: Kemenkes RI

9 Jun 2011

Jampersal Pandeglang Sudah Bisa Digunakan Untuk Persalinan Gratis

Jampersal Pandeglang Mulai Direalisasikan 1 Mei 2011

DINKES Kesehatan (Dinkes) Pandeglang secara resmi telah meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak 1 Mei 2011. Dengan hanya bermodalkan KTP dan surat keterangan belum mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dari desa setempat, Ibu hamil kini bisa melakukan persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan secara gratis. Oleh karena itu, Dinkes mempersilahkan warga memanfaatkan program ini sesuai aturan yang berlaku.

Kepala Dinkes Pandeglang H. Iskandar mengungkapkan pihaknya terus berupaya menyosialisasikan Program Jampersal dalam berbagai kesempatan, baik kegiatan lintas sektor maupun sosialisasi kepada masyarakat langsung melalui puskesmas dan bidan desa. Diapun berharap fungsi media bisa membantu  menyosialisasikan program pemerintah yang baru diluncurkan pada tahun 2011 ini.  “Tujuannnya supaya masyarakat tahu dan memanfaatkan program ini sesuai peruntukannya,” kata Iskandar didampingi Sekretaris Dinkes Hj. Nuriah di Kantornya, Kamis (9/6).

Sementara Hj. Nuriah menambahkan, Jampersal dimaksudkan untuk membantu ibu-ibu melahirkan secara gratis di fasilitas kesehatan pemerintah seperti puskesmas maupun bidan desa dan juga fasilitas kesehatan swasta seperti klinik dokter serta bidan praktek   yang sudah menandatangani  kerja sama dengan Dinkes Pandeglang.

Pelayanan Jampersalpun gratis tidak hanya sebatas proses persalinan saja, tapi juga meliputi pemeriksaan kehamilan, pelayanan ibu setelah melahirkan termasuk perawatan bayinya.
Selain itu, lanjut dia, Jampersal juga menjamin pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit serta komplikasi. “Akan tetapi, proses pelayanan harus dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan Rumah Sakit berdasarkan rujukan yang ada,” tuturnya.

Ditambahkan, berdasarkan data Kemenkes 90 persen kematian ibu disebabkan karena persalinan. “Salah satu penyebabnya karena masih banyaknya ibu hamil tidak mampu yang persalinannya tidak dilayani oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang baik karena terkendala biaya,” imbuhnya.

Melalui Program Jampersal, harap Nuriah, pihaknya optimistis bisa membantu mengurangi angka kematian ibu dan bayi di Pandeglang yang saat ini relatif masih cukup tinggi.

8 Jun 2011

Hj. Erna Erwan Kurtubi Kunjungi Pasien Gizi Buruk di RSUD Berkah


Ketua TP PKK Pandeglang Hj. Erna Erwan Kurtubi Jenguk Pasien Gizi Buruk
SEHARI pasca dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Berkah, pasien gizi buruk atas nama Langlang (2 bulan) putra pasangan  Tn. Pulung/Ny. Minah warga Kampung/Desa Cigondang Kecamatan Labuan, dikunjungi Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Pandeglang Hj Erna Erwan Kurtubi, Selasa (7/6).
Ketua TP PKK yang datang ke rumah sakit seusai mengikuti senam Selasa pagi tersebut didampingi Kepala Dinas Kesehatan (Kandikes) Pandeglang H. Iskandar, Sekretaris Dinkes Hj. Nuriah, Direktur RSUD Berkah Dr. Susi Badrayanti beserta para kabid dan sejumlah kepala seksi dilingkungan Dinkes Pandeglang.
Kepada sejumlah wartawan yang meliput, Hj. Erna Erwan Kurtubi menyampaikan keperihatinan dengan masih adanya penderita gizi buruk yang ada di wilayah Pandeglang.
”Saya merasa perihatin dengan masih bayaknya penderita gizi buruk di Kabupaten Pandeglang, dan persoalan gizi buruk ini bukan hanya tanggungjawab Pemkab, tetapi semua stakeholder yang ada,” katanya.
Kendati begitu, pihaknya sudah membantu pemantauan status gizi anak melalui Tim Penggerak PKK kecamatan dan desa. “Kami terus berupaya meminimalisir tingginya angka penderita gizi buruk ini melalui berbagai kegiatan seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB) sehingga status gizi anak dapat terpantau,” kata Hj. Erna Erwan Kurtubi yang juga sebagai staf ahli Bupati Pandeglang disele-sela kunjungannya ke RSUD Berkah, kemarin.
Ditegaskan, dirinya sebagai Ketua TP PKK Kabupaten Pandeglang bersama jajaran pengurus yang ada di seluruh kecamatan dan desa khususnya melalui Kelompok Kerja (Pokja IV) yang membidangi urusan kesehatan keluarga akan terus turun ke masyarakat bersama tim kesehatan Dinkes Pandeglang untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi pencegahan gizi buruk yang salah satunya diakibatkan pola pemberian makan dari orang tua yang tidak sehat. “TP PKK terus mendorong para para orang tua mau datang ke Posyandu dan menimbang  balita secara rutin setiap bulan untuk memantau perkembangan anak,” katanya.
Kadinkes Pandeglang H. Iskandar menambahkan, pihaknya telah menginstruksikan agar seluruh pasien penderita gizi buruk untuk ditangani dengan serius, dan segera dirujuk ke rumah sakit jika tak mampu ditangani di tingkat Puskesmas.
”Saat ini kami masih terus melakukan penanganan penderita kurang gizi baik di sarana Klinik Gizi yang ada di Puskesmas maupun melalui bidan desa dengan pemberian makanan tambahan (PMT) untuk pemulihan,” ujar Iskandar.
Direktur RSUD Berkah Hj. Susi Badrayanti menyatakan kondisi penderita kurang gizi dapat dipulihkan dengan perawatan intensif dan pemberian ASI atau asupan makanan yang seimbang dari orang tua pasca pemulihan. “Peran orang tua sangat penting terutama dalam pemberian air susu ibu (ASI) bagi bayi dan pemberian makanan yang seimbang sesuai tingkat kebutuhan dan perkembangan anak balita,” katanya.