ANAK dengan berkebutuhan khusus (ABK) atau ‘Different Ability’ (Difabel)
merupakan kondisi seseorang yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda
dengan orang lain pada umumnya. Banyak hal penyebab difabel terjadi, mulai difabel
sejak kelahiran hingga mengalami peristiwa kecelakaan atau bencana.
Seperti yang dialami sejumlah anak warga di sejumlah
kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Khaerudin misalnya, ia mengalami difabel ‘down syndrome’ (keterbelakangan
mental red) sejak lahir. Kondisi serupa dialami Amelia yang tak memiliki jari
tangan saat dilahirkan.
Namun bagi anak difabel lainnya seperti kelumpuhan yang dialami kaki Royati, diakui
pihak keluarga diakibatkan karena
penyakit polio yang diderita anaknya waktu kecil. Begitupun nasib Eneng Kurniasih, difabel yang kaki
kiri kirinya diamputasi 'gara-gara' digigit ular tanah, ketika itu ia masih duduk
di sekolah dasar.
Masih beruntung bagi keluarga difabel tersebut,
melalui program ESP Yayasan Harfa Pandeglang sejak tahun lalu, mereka telah dibimbing
untuk bisa merawat dan memberikan perlakuan yang ‘Istimewa’ bagi anggota keluarga yang menyandang
difabel.
Bagi para keluarga yang memiliki anak difabel, upaya
yang telah dilakukan Harfa seperti memberikan pelatihan bagi keluarga difabel
sangat membantu, terutama sebagai bekal bagi keluarga dalam praktik keterampilan perawatan kesehatan di rumah, pemulihan dan
cara memberi perlakuan terhadap difabel.
Hal itu disampaikan Kamah salah seorang ibu dari keluarga difabel asal Kampung Cibodas
Desa Sumurlaban Kecamatan Angsana yang mengaku lebih termotivasi dalam merawat
dan mendidik anaknya, sehingga tumbuh rasa percaya diri, walaupun awalnya
merasa ‘minder’ dengan memiliki anak atau keluarga yang difabel. “Sebelum mengikuti acara ini, saya merasa tidak
percaya diri, malu punya anak difabel dan merasa yang paling menderita, tapi setelah
mengikuti acara ini, ternyata ada orang
yang lebih dari anak saya kekurangannya.” tutur Kamah disela-sela pelatihan
bagi keluarga difabel di Cottage Villa Carita Asri, Pandeglang, Minggu (31/3)
akhir pekan kemarin.
Sementara itu, Direktur Harfa Yudi Hermawan didampingi
Koordinator lapangan (Korlap) Divisi Environmental Services Program (ESP) Harfa
Pandeglang Ii Irfan mengatakan kegiatan pelatihan bagi keluarga difabel
diikuti 40 keluarga asal tiga kecamatan yakni Angsana, Sukaresmi dan Saketi. “Pelatihan
ini untuk yang kedua kali diikuti peserta keluarga difabel yang sama.
Tujuannya meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan keluarga (orang terdekat red) dalam mendidik dan memotivasi anak difabel,”
kata Yudi.
Korlap ESP Harfa Pandeglang Ii Irfan menambahkan, pelatihan
difabel difasilitasi praktisi kedokteran RSUD Berkah Dr. H. Achmad Chubaesi Yusuf, Sp.KFR yang dalam beberapa
kesempatan juga sering mengunjungi anak-anak difabel untuk mendapatkan
pelayanan rehabilitasi medik langsung di rumah ABK.
Dalam kesempatan tersebut jelas Irfan, Harfa secara
resmi mensosialisasikan penggunaan kata ‘difabel’ yang berarti orang istimewa
atau berkebutuhan khusus menggantikan penyebutan istilah kata ‘cacat’ yang sebelumnya
digunakan.
Dia
mengungkapkan, penyebutan ABK berkembang
ditengah-tengah masyarakat dengan berbagai istilah kata seperti dungu,
gangguan fisik, lumpuh otak, gangguan emosional, ketidakmampuan mental,
gangguan pendengaran, gangguan pengllihatan, ketidakmampuan belajar, autistik, maupun
keterlambatan perkembangan. “Semua keterbatasan itu adalah
difabel,” tandas Irfan.
Fasilitator pelatihan keluarga difabel Dr. H. Achmad
Chubaesi Yusuf, Sp.KFR, menuturkan, orang dengan berkebutuhan khusus itu
bukan aib atau produk gagal. “Karena sekali lagi Tuhan pernah menciptakan
hamba-Nya dengan sia-sia,” imbuhnya.
Dalam pelatihan tersebut, sang dokter
spesialis rehabilitasi medik RSUD Berkah Pandeglang itu, dengan cermat
mengidentifikasi beberapa difabel dengan masalah, sekaligus memberikan solusi
secara psikis dan psikologis yang bisa dilakukan keluarga. “Cara ini untuk
memotivasi keluarga difabel untuk bisa membimbing dan mengaplikasikan ilmu
selama pelatihan di rumahnya masing-masing,” kata dr. Ubes panggilan
sehari-harinya.
Dia mencontohkan, bagi difabel Khaerudin (14 tahun) yang menderita down
syndrome dan sering mengeluarkan air liur, disarankan kepada ibunya
untuk mengatasi kekurangan anaknya yaitu dengan memijat secara melingkar
kebawah secara rutin setiap hari. “Selain itu Khaerudin diupayakan sering
mengunyah permen karet untuk melatih berbicara,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar