Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sanitasi dan perencanaan
wilayah urban. Derajat kesehatan penduduk urban, khususnya penduduk
miskin tidak begitu menggembirakan. Hal ini karena berbagai faktor, di
antaranya kondisi lingkungan yang tidak baik, sanitasi yang tak layak
dan prilaku higinis yang tidak sehat.
Dewasa ini ada sekitar 70 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap sanitasi. Sembilan belas juta di antaranya hidup di perkotaan dengan daya dukung lingkungan yang kritis. Akibatnya lebih dari 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik urine mencemari 75 persen sungai. Masyarakat pun harus membayar rata-rata 27 persen lebih mahal untuk air bersih.
Demikian benang merah yang terungkap pada Konferensi Sanitasi Nasional 2009, Selasa (8/12/09) di Jakarta. Tampil sebagai narasumber Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.
Wakil Presiden Boediono pada saat pembukaan konferensi, menegaskan tahun 2014 ditargetkan tidak ada lagi orang Indonesia yang buang air besar sembarangan (BABs). Ia menyambut baik pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman demi mencapai target 2014.
Pemerintah sudah meningkatkan perhatian terhadap pentingnya sanitasi dengan mengarusutamakan sanitasi dalam proses pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah dan meningkatkan alokasi anggaran penyediaan pelayanan sanitasi dasar. "Pemerintah juga melibatkan masyarakat secara langsung, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Pihak swasta pun telah mulai berperan untuk membantu percepatan pembangunan," katanya.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu mengatakan, akibat sanitasi yang buruk, dari tiap 1.000 bayi lahir, hamper 50 di antaranya meninggal karena diare sebelum usia 5 tahun. Sembilan puluh empat persen kasus diare disumbang oleh faktor lingkungan terkait dengan konsumsi air yang tidak sehat dan buruhnya sanitasi. "Selain diare, sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit kulit dan ISPA," ujarnya.
Endang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir investasi untuk sanitasi sudah meningkat pesat, yaitu Rp 5.000 per kapita pertahun. Padahal, investasi selama 30 tahun sebelumnya (1970-2000) hanya mencapai Rp 200 per kapita per tahun. Namun, kebutuhan tersebut masih jauh dari kebutuhan ideal karena baru 10 persen dari kebutuhan pelayanan sanitasi dasar yang seharusnya, yakni Rp 47.000 per kapita per tahun. Angka yang amat timpang tersebut menunjukkan betapa jauhnya sanitasi Indonesia telah tertinggal.
Armida Alisjahbana mengatakan, pemerintah telah merancang program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan yang akan dijalankan pada periode 2010-2014. Agar program ini dapat berjalan efektif, maka dibutuhkan dukungan nyata yang terintegrasi dari berbagai sektor terkait di kalangan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat.
"Konferensi Sanitasi Nasional II menjadi salah satu upaya penggalangan dukungan dan penciptaan pemahaman nasional yang kali ini bermisi meluaskannya kepada pejabat provinsi, kota/kabupaten, masyarakat luas, serta kepada pemerintah pusat," ungkapnya.
Sumber : Kompas Online
Dewasa ini ada sekitar 70 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap sanitasi. Sembilan belas juta di antaranya hidup di perkotaan dengan daya dukung lingkungan yang kritis. Akibatnya lebih dari 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik urine mencemari 75 persen sungai. Masyarakat pun harus membayar rata-rata 27 persen lebih mahal untuk air bersih.
Demikian benang merah yang terungkap pada Konferensi Sanitasi Nasional 2009, Selasa (8/12/09) di Jakarta. Tampil sebagai narasumber Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.
Wakil Presiden Boediono pada saat pembukaan konferensi, menegaskan tahun 2014 ditargetkan tidak ada lagi orang Indonesia yang buang air besar sembarangan (BABs). Ia menyambut baik pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman demi mencapai target 2014.
Pemerintah sudah meningkatkan perhatian terhadap pentingnya sanitasi dengan mengarusutamakan sanitasi dalam proses pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah dan meningkatkan alokasi anggaran penyediaan pelayanan sanitasi dasar. "Pemerintah juga melibatkan masyarakat secara langsung, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Pihak swasta pun telah mulai berperan untuk membantu percepatan pembangunan," katanya.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu mengatakan, akibat sanitasi yang buruk, dari tiap 1.000 bayi lahir, hamper 50 di antaranya meninggal karena diare sebelum usia 5 tahun. Sembilan puluh empat persen kasus diare disumbang oleh faktor lingkungan terkait dengan konsumsi air yang tidak sehat dan buruhnya sanitasi. "Selain diare, sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit kulit dan ISPA," ujarnya.
Endang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir investasi untuk sanitasi sudah meningkat pesat, yaitu Rp 5.000 per kapita pertahun. Padahal, investasi selama 30 tahun sebelumnya (1970-2000) hanya mencapai Rp 200 per kapita per tahun. Namun, kebutuhan tersebut masih jauh dari kebutuhan ideal karena baru 10 persen dari kebutuhan pelayanan sanitasi dasar yang seharusnya, yakni Rp 47.000 per kapita per tahun. Angka yang amat timpang tersebut menunjukkan betapa jauhnya sanitasi Indonesia telah tertinggal.
Armida Alisjahbana mengatakan, pemerintah telah merancang program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan yang akan dijalankan pada periode 2010-2014. Agar program ini dapat berjalan efektif, maka dibutuhkan dukungan nyata yang terintegrasi dari berbagai sektor terkait di kalangan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat.
"Konferensi Sanitasi Nasional II menjadi salah satu upaya penggalangan dukungan dan penciptaan pemahaman nasional yang kali ini bermisi meluaskannya kepada pejabat provinsi, kota/kabupaten, masyarakat luas, serta kepada pemerintah pusat," ungkapnya.
Sumber : Kompas Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar