Republik ini punya mimpi besar, yaitu meraih predikat sebagai negara
maju pada tahun 2025 dengan pendapatan 14.250-15.500 dollar AS per
kapita.
Nilai total perekonomian negeri kepulauan ini pada tahun itu juga ditaksir berkisar 4-4,5 triliun dollar AS.
Indonesia pun akan berada di jajaran negara maju dunia, setara dengan negara-negara di belahan dunia barat.
Mimpi besar itu berdasarkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015 yang hanya dapat diraih dengan pertumbuhan ekonomi riil 6,4-7,5 persen (2011-2014).
Lantas harus dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 8,0-9,0 persen (2015-2025). Pertumbuhan secepat itu pun mensyaratkan lokomotif yang bergerak cepat tanpa pernah lelah atau terbatuk-batuk.
Nah, ada selang jarak 14 tahun, mulai tahun 2011 hingga tahun 2025. Apa artinya? Artinya, mimpi untuk mewujudkan Indonesia yang besar tidak dapat hanya dibebankan di pundak para pemimpin negeri yang kini sedang memberi arah negeri ini. Pemimpin berusia 50-60 tahun tentu saja menjelang masa senjanya ketika memasuki tahun 2025.
Jadi, karena usia produktif pekerja berkisar 15-64 tahun, kiranya tepat apabila mulai meletakkan harapan dari anak-anak berusia satu tahun ke atas. Masa depan Indonesia bergantung pada anak-anak kita itu. Terlebih, bila kita mencermati demografi umum penduduk Indonesia di tahun 2010-2013, ternyata pada periode itulah indeks ketergantungan Indonesia mencapai angka terendah.
Dalam kondisi seperti apa dapat diraih angka terendah dari indeks ketergantungan? Ya, ternyata berdasarkan proyeksi, tepat di tahun 2025, dari total seluruh penduduk Indonesia diperkirakan 10 persennya adalah kaum tua berusia 65 tahun, 20 persennya adalah anak-anak berusia 15-64 tahun, dan 70 persennya pekerja berusia 15-64.
Lantas, sumber daya manusia dengan kualitas macam apa yang dapat kita ciptakan? Pekerjaan rumah apa yang mesti dikerjakan untuk menyiapkan kaum muda, juga anak-anak bagi Indonesia di tahun 2025?
Jangan dulu melangkah terlalu jauh dalam hal peningkatan kualitas SDM kita. Jangan cuma berpikir perangkat lunak karena masih ada urusan perangkat keras berupa prasarana yang harus dibangun. Sebagian dari masyarakat, bolehlah ditingkatkan kemampuannya, pengetahuannya, dan mengimplementasikannya secepat mungkin.
Namun ingat, masih ada persoalan mendasar seperti masalah gizi buruk pada balita. Ada banyak kasus di mana sebagian waktu yang dimiliki anak-anak malah dihabiskan untuk memulihkan kesehatan.
Maka, jangankan punya peluang membangun dan menikmati pembangunan, ternyata Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit diare dan 50.000 kematian dini setiap tahun, serta 50.000 kematian dini tiap tahun. Mari kita camkan jumlah korban itu.
Sungguh, laporan bertajuk ”Economic Impact of Sanitation in Indonesia”, yang di luncurkan oleh Water Sanitation Program East Asia & the Pacific (WSP-EAP) Bank Dunia pada bulan Agustus 2008, benar-benar luar biasa menakutkan. Kematian akibat penyakit yang dipicu kurangnya sanitasi ternyata lebih tinggi dari kematian akibat kecelakaan di jalan raya yang lebih dari 30.000 jiwa per tahun (2010).
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budi Yuwono menambahkan, Bappenas melaporkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak di tahun 2009 baru mencapai 51,19 persen. Maka dapat kita perkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap sanitasi layak, kata dia.
Ditambahkan Budi Yuwono, berarti hampir separuh anak Indonesia terancam perkembangannya akibat buruknya sanitasi. Sungguh mengagetkan mengetahui betapa rapuhnya angkutan muda kita, anak-anak kita yang diharapkan membuat negeri ini jaya.
Infrastruktur
Lebih mengherankan lagi, selama ini kita gaduh soal infrastruktur jalan tol yang lamban dibangun, ribut tentang infrastruktur rel kereta yang lambat bertambah, selalu protes keras tentang infrastruktur listrik yang tak memuaskan, tetapi lupa membangun infrastruktur sanitasi.
Mirisnya, dari laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia kembali kita dapat mengutip data bahwa biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp 13,3 triliun per tahun. Biaya sebesar itu hampir sama dengan alokasi APBN bidang sanitasi yang dialokasikan untuk lima tahun. Sungguh, kita harus serius untuk membangun sanitasi supaya kerugian tak membengkak.
Kita harus menyingkirkan pandangan sinis terhadap pembangunan saluran pembuangan limbah, pembuangan sampah, hingga penjernihan air yang mungkin kini dipandang memboroskan anggaran atau tidak berdampak langsung, katakanlah, dibandingkan pembangunan tol untuk mengatasi kemacetan. Pembangunan infrastruktur sanitasi harus dipandang sebagai investasi untuk masa depan.
Maka, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pun menegaskan, untuk mencapai target akses terhadap sanitasi untuk 62,41 persen rumah tangga pada tahun 2015 akan dibangun beberapa proyek infrastruktur. Alokasi dana yang disiapkan pemerintah pun cukup besar mencapai Rp 14,2 triliun hingga tahun 2014.
Beberapa proyek itu, di antaranya, penambahan jaringan air limbah terpusat di 11-16 kota, pembangunan prasarana dan sarana air limbah sistem on site dengan prioritas di 210 kota terpilih, pembangunan prasarana persampahan untuk mengurangi timbunan sampah sebesar 20 persen, perbaikan manajemen pelayanan persampahan kota di 210 kota, prioritas dan pembangunan drainase perkotaan untuk pengurangan genangan seluas 4. 600 hektar di 50 kawasan strategis.
Pembangunan infrastruktur-infrastruktur itu merupakan pengejawantahan dari komitmen kuat pemerintah atas pembangunan sanitasi.
Pada Sidang Umum PBB di akhir Juli 2010, Indonesia, misalnya, menjadi salah satu dari 122 negara yang menetapkan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Indonesia juga termasuk ke dalam 189 negara pendukung Deklarasi Milenium yang menetapkan sanitasi sebagai sasaran Millenium Development Goals 2015.
Terlebih, infrastruktur dinilai ampuh untuk memutus lingkaran setan kemiskinan-kematian-kemiskinan. Berulang kali Utusan Khusus MDGs Nila Djuwita Moeloek kepada media mengatakan, tanpa ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik, penyakit akan mendekat sehingga warga terpaksa ke dokter dan mengeluarkan dana untuk itu. Kemiskinan dan lingkungan juga terkait. Lingkungan akan terganggu jika masyarakat miskin .
Bahkan, Kementerian PU juga bekerja sama dengan negara tetangga untuk mengatasi persoalan sanitasi ini. Pada Kamis (4/8/2011), Menteri Pekerjaan Umum dan Direktur Jenderal Australian AID Baxter di Banjarmasin meresmikan sekaligus menyerahterimakan pemanfaatan sambungan rumah (SR) air minum dan air limbah di wilayah Kalimantan dan Jawa.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Jawa dan Sumatera, dengan bantuan Kementerian PU dan Pemerintah Australia, akhirnya dapat menikmati layanan air minum bagi 11.250 sambungan rumah dan 4.826 sambungan rumah untuk air limbah.
Selain itu, di bulan Agustus 2011 Bank Pembangunan Asia menjanjikan pinjaman sebesar 100 juta dollar AS untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur dasar di desa dan peningkatan infrastruktur sanitasi di perkotaan meski proyek itu haruslah berbasis komunitas.
Perilaku
Di tengah upaya Kementerian PU yang memanfaatkan APBN yang terbatas bahkan sampai meminjam dari luar negeri guna membangun infrastruktur sanitasi dan air; tragisnya ternyata 76,3 persen dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi telah tercemar bahan organik dan 11 sungai, terutama oleh amonium. Itu merupakan dampak dari perilaku pembuangan limbah yang sembarangan.
Jangan heran bila Menteri PU menegaskan bahwa masalah sanitasi di Indonesia bukan sekadar minimnya infrastruktur, melainkan juga buruknya perilaku.
Masyarakat harus meningkatkan kepedulian terhadap sanitasi dan meninggalkan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) dan praktik buang limbah ke selokan-selokan, saluran air, atau badan air seperti sungai.
Bicara soal kepedulian terhadap sanitasi, mungkin penduduk Indonesia berada di urutan bawah. Tahun 2010 ketika Kompas mempelajari Integrated Water Resources Management (IWRM) di Stockholm, Swedia, terlihat betul penghormatan warga terhadap air dan sanitasi. Di areal pengambilan air minum, misalnya, jangankan membuang sampah, siapa pun dilarang berenang di sana.
Untuk lebih membuka mata kita, patut pula diinformasikan bahwa tidak ada satu rumah pun boleh dibangun di Swedia tanpa ada jaminan mampu mengoneksikan rumah itu dengan jaringan air minum dan pengolahan limbah. Sederhananya, izin mendirikan bangunan tak akan diterbitkan tanpa ada jaminan ketersediaan dua hal tersebut.
Bagaimana di Indonesia? Daerah aliran sungai ibaratnya WC terpanjang di dunia. Memberi peringatan terhadap warga di tepi sungai untuk menjaga kualitas air dan kondisi sanitasi saja sulitnya bukan main.
Baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun pemerhati masalah sanitasi seolah telah berteriak-teriak di padang gurun, tetapi hasilnya nyaris nihil.
Warga di tepi sungai lupa bahwa tiap sampah yang dihanyutkan di sungai akhirnya memberatkan kerja instalasi pengolah air minum. Biaya produksi air pun membengkak, sementara tarif selalu ditekan secara politis. Akibatnya, misalnya, PDAM merugi dan pada gilirannya jaringan perpipaan tak dapat menggurita. Mereka pula yang akhirnya dirugikan.
Bangsa ini pun membutuhkan agent of change , motor perubahan. Semacam duta sanitasi. Dan dipilihlah metode untuk mendidik anak-anak melalui kegiatan Jambore Sanitasi 2011. Kegiatan itu sudah dilangsungkan pada 20 25 Juni 2011 di Mercure Hotel di Ancol, Jakarta. Sebanyak 198 peserta pelajar SMP dan 66 pendamping dari 33 provinsi di Indonesia dibukakan mata dan hatinya dalam jambore tersebut.
Fakta-fakta terkait tema Sanitasi dan Kualitas Anak Indonesia telah dibeberkan, contoh-contoh kasus ditampilkan, supaya para anak-anak menularkan di daerah asal soal pentingnya sanitasi sebagai hak dasar setiap anak Indonesia.
Ada kesan pengetahuan tentang jambore itu dangkal untuk warga kelas menengah yang tinggal di perkotaan. Masak diajarkan harus mencuci tangan, buang air di jamban, hingga metode mengolah limbah? Namun, harus diingat masih banyak penduduk Indonesia yang sama sekali tak mempunyai akses terhadap sanitasi bahkan air bersih.
Ada jutaan warga di hilir sungai yang tiap hari terpaparkan oleh limbah yang dikirim oleh saudara mereka di hulu sungai. Persoalan ini sekali lagi tidak sederhana bila menimbang jutaan orang yang terjangkit penyakit bahkan berujung pada kematian yang mencapai 50.000 jiwa per tahun itu.
Akhirukalam, republik ini punya mimpi besar. Dan mimpi itu hanya dapat diwujudkan bila anak-anak kita sehat bila anak-anak itu juga menularkan pengetahuan soal sanitasi ke lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, mereka dapat senantiasa belajar bahkan berinovasi dengan pikiran-pikiran kreatif mereka. Dapat pula andil memproduksi sesuatu dengan dukungan lingkungan yang kondusif.
Tegasnya, pembangunan infrastruktur sanitasi maupun upaya penyadaran terhadap anak-anak supaya mampu berkontribusi untuk mewujudkan ketersediaan sanitasi bagi anak itu sendiri dan masyarakat sekitarnya merupakan landasan bagi Indonesia yang kuat.
Sumber : Kompas Online
Nilai total perekonomian negeri kepulauan ini pada tahun itu juga ditaksir berkisar 4-4,5 triliun dollar AS.
Indonesia pun akan berada di jajaran negara maju dunia, setara dengan negara-negara di belahan dunia barat.
Mimpi besar itu berdasarkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015 yang hanya dapat diraih dengan pertumbuhan ekonomi riil 6,4-7,5 persen (2011-2014).
Lantas harus dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 8,0-9,0 persen (2015-2025). Pertumbuhan secepat itu pun mensyaratkan lokomotif yang bergerak cepat tanpa pernah lelah atau terbatuk-batuk.
Nah, ada selang jarak 14 tahun, mulai tahun 2011 hingga tahun 2025. Apa artinya? Artinya, mimpi untuk mewujudkan Indonesia yang besar tidak dapat hanya dibebankan di pundak para pemimpin negeri yang kini sedang memberi arah negeri ini. Pemimpin berusia 50-60 tahun tentu saja menjelang masa senjanya ketika memasuki tahun 2025.
Jadi, karena usia produktif pekerja berkisar 15-64 tahun, kiranya tepat apabila mulai meletakkan harapan dari anak-anak berusia satu tahun ke atas. Masa depan Indonesia bergantung pada anak-anak kita itu. Terlebih, bila kita mencermati demografi umum penduduk Indonesia di tahun 2010-2013, ternyata pada periode itulah indeks ketergantungan Indonesia mencapai angka terendah.
Dalam kondisi seperti apa dapat diraih angka terendah dari indeks ketergantungan? Ya, ternyata berdasarkan proyeksi, tepat di tahun 2025, dari total seluruh penduduk Indonesia diperkirakan 10 persennya adalah kaum tua berusia 65 tahun, 20 persennya adalah anak-anak berusia 15-64 tahun, dan 70 persennya pekerja berusia 15-64.
Lantas, sumber daya manusia dengan kualitas macam apa yang dapat kita ciptakan? Pekerjaan rumah apa yang mesti dikerjakan untuk menyiapkan kaum muda, juga anak-anak bagi Indonesia di tahun 2025?
Jangan dulu melangkah terlalu jauh dalam hal peningkatan kualitas SDM kita. Jangan cuma berpikir perangkat lunak karena masih ada urusan perangkat keras berupa prasarana yang harus dibangun. Sebagian dari masyarakat, bolehlah ditingkatkan kemampuannya, pengetahuannya, dan mengimplementasikannya secepat mungkin.
Namun ingat, masih ada persoalan mendasar seperti masalah gizi buruk pada balita. Ada banyak kasus di mana sebagian waktu yang dimiliki anak-anak malah dihabiskan untuk memulihkan kesehatan.
Maka, jangankan punya peluang membangun dan menikmati pembangunan, ternyata Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit diare dan 50.000 kematian dini setiap tahun, serta 50.000 kematian dini tiap tahun. Mari kita camkan jumlah korban itu.
Sungguh, laporan bertajuk ”Economic Impact of Sanitation in Indonesia”, yang di luncurkan oleh Water Sanitation Program East Asia & the Pacific (WSP-EAP) Bank Dunia pada bulan Agustus 2008, benar-benar luar biasa menakutkan. Kematian akibat penyakit yang dipicu kurangnya sanitasi ternyata lebih tinggi dari kematian akibat kecelakaan di jalan raya yang lebih dari 30.000 jiwa per tahun (2010).
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budi Yuwono menambahkan, Bappenas melaporkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak di tahun 2009 baru mencapai 51,19 persen. Maka dapat kita perkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap sanitasi layak, kata dia.
Ditambahkan Budi Yuwono, berarti hampir separuh anak Indonesia terancam perkembangannya akibat buruknya sanitasi. Sungguh mengagetkan mengetahui betapa rapuhnya angkutan muda kita, anak-anak kita yang diharapkan membuat negeri ini jaya.
Infrastruktur
Lebih mengherankan lagi, selama ini kita gaduh soal infrastruktur jalan tol yang lamban dibangun, ribut tentang infrastruktur rel kereta yang lambat bertambah, selalu protes keras tentang infrastruktur listrik yang tak memuaskan, tetapi lupa membangun infrastruktur sanitasi.
Mirisnya, dari laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia kembali kita dapat mengutip data bahwa biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp 13,3 triliun per tahun. Biaya sebesar itu hampir sama dengan alokasi APBN bidang sanitasi yang dialokasikan untuk lima tahun. Sungguh, kita harus serius untuk membangun sanitasi supaya kerugian tak membengkak.
Kita harus menyingkirkan pandangan sinis terhadap pembangunan saluran pembuangan limbah, pembuangan sampah, hingga penjernihan air yang mungkin kini dipandang memboroskan anggaran atau tidak berdampak langsung, katakanlah, dibandingkan pembangunan tol untuk mengatasi kemacetan. Pembangunan infrastruktur sanitasi harus dipandang sebagai investasi untuk masa depan.
Maka, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pun menegaskan, untuk mencapai target akses terhadap sanitasi untuk 62,41 persen rumah tangga pada tahun 2015 akan dibangun beberapa proyek infrastruktur. Alokasi dana yang disiapkan pemerintah pun cukup besar mencapai Rp 14,2 triliun hingga tahun 2014.
Beberapa proyek itu, di antaranya, penambahan jaringan air limbah terpusat di 11-16 kota, pembangunan prasarana dan sarana air limbah sistem on site dengan prioritas di 210 kota terpilih, pembangunan prasarana persampahan untuk mengurangi timbunan sampah sebesar 20 persen, perbaikan manajemen pelayanan persampahan kota di 210 kota, prioritas dan pembangunan drainase perkotaan untuk pengurangan genangan seluas 4. 600 hektar di 50 kawasan strategis.
Pembangunan infrastruktur-infrastruktur itu merupakan pengejawantahan dari komitmen kuat pemerintah atas pembangunan sanitasi.
Pada Sidang Umum PBB di akhir Juli 2010, Indonesia, misalnya, menjadi salah satu dari 122 negara yang menetapkan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Indonesia juga termasuk ke dalam 189 negara pendukung Deklarasi Milenium yang menetapkan sanitasi sebagai sasaran Millenium Development Goals 2015.
Terlebih, infrastruktur dinilai ampuh untuk memutus lingkaran setan kemiskinan-kematian-kemiskinan. Berulang kali Utusan Khusus MDGs Nila Djuwita Moeloek kepada media mengatakan, tanpa ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik, penyakit akan mendekat sehingga warga terpaksa ke dokter dan mengeluarkan dana untuk itu. Kemiskinan dan lingkungan juga terkait. Lingkungan akan terganggu jika masyarakat miskin .
Bahkan, Kementerian PU juga bekerja sama dengan negara tetangga untuk mengatasi persoalan sanitasi ini. Pada Kamis (4/8/2011), Menteri Pekerjaan Umum dan Direktur Jenderal Australian AID Baxter di Banjarmasin meresmikan sekaligus menyerahterimakan pemanfaatan sambungan rumah (SR) air minum dan air limbah di wilayah Kalimantan dan Jawa.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Jawa dan Sumatera, dengan bantuan Kementerian PU dan Pemerintah Australia, akhirnya dapat menikmati layanan air minum bagi 11.250 sambungan rumah dan 4.826 sambungan rumah untuk air limbah.
Selain itu, di bulan Agustus 2011 Bank Pembangunan Asia menjanjikan pinjaman sebesar 100 juta dollar AS untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur dasar di desa dan peningkatan infrastruktur sanitasi di perkotaan meski proyek itu haruslah berbasis komunitas.
Perilaku
Di tengah upaya Kementerian PU yang memanfaatkan APBN yang terbatas bahkan sampai meminjam dari luar negeri guna membangun infrastruktur sanitasi dan air; tragisnya ternyata 76,3 persen dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi telah tercemar bahan organik dan 11 sungai, terutama oleh amonium. Itu merupakan dampak dari perilaku pembuangan limbah yang sembarangan.
Jangan heran bila Menteri PU menegaskan bahwa masalah sanitasi di Indonesia bukan sekadar minimnya infrastruktur, melainkan juga buruknya perilaku.
Masyarakat harus meningkatkan kepedulian terhadap sanitasi dan meninggalkan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) dan praktik buang limbah ke selokan-selokan, saluran air, atau badan air seperti sungai.
Bicara soal kepedulian terhadap sanitasi, mungkin penduduk Indonesia berada di urutan bawah. Tahun 2010 ketika Kompas mempelajari Integrated Water Resources Management (IWRM) di Stockholm, Swedia, terlihat betul penghormatan warga terhadap air dan sanitasi. Di areal pengambilan air minum, misalnya, jangankan membuang sampah, siapa pun dilarang berenang di sana.
Untuk lebih membuka mata kita, patut pula diinformasikan bahwa tidak ada satu rumah pun boleh dibangun di Swedia tanpa ada jaminan mampu mengoneksikan rumah itu dengan jaringan air minum dan pengolahan limbah. Sederhananya, izin mendirikan bangunan tak akan diterbitkan tanpa ada jaminan ketersediaan dua hal tersebut.
Bagaimana di Indonesia? Daerah aliran sungai ibaratnya WC terpanjang di dunia. Memberi peringatan terhadap warga di tepi sungai untuk menjaga kualitas air dan kondisi sanitasi saja sulitnya bukan main.
Baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun pemerhati masalah sanitasi seolah telah berteriak-teriak di padang gurun, tetapi hasilnya nyaris nihil.
Warga di tepi sungai lupa bahwa tiap sampah yang dihanyutkan di sungai akhirnya memberatkan kerja instalasi pengolah air minum. Biaya produksi air pun membengkak, sementara tarif selalu ditekan secara politis. Akibatnya, misalnya, PDAM merugi dan pada gilirannya jaringan perpipaan tak dapat menggurita. Mereka pula yang akhirnya dirugikan.
Bangsa ini pun membutuhkan agent of change , motor perubahan. Semacam duta sanitasi. Dan dipilihlah metode untuk mendidik anak-anak melalui kegiatan Jambore Sanitasi 2011. Kegiatan itu sudah dilangsungkan pada 20 25 Juni 2011 di Mercure Hotel di Ancol, Jakarta. Sebanyak 198 peserta pelajar SMP dan 66 pendamping dari 33 provinsi di Indonesia dibukakan mata dan hatinya dalam jambore tersebut.
Fakta-fakta terkait tema Sanitasi dan Kualitas Anak Indonesia telah dibeberkan, contoh-contoh kasus ditampilkan, supaya para anak-anak menularkan di daerah asal soal pentingnya sanitasi sebagai hak dasar setiap anak Indonesia.
Ada kesan pengetahuan tentang jambore itu dangkal untuk warga kelas menengah yang tinggal di perkotaan. Masak diajarkan harus mencuci tangan, buang air di jamban, hingga metode mengolah limbah? Namun, harus diingat masih banyak penduduk Indonesia yang sama sekali tak mempunyai akses terhadap sanitasi bahkan air bersih.
Ada jutaan warga di hilir sungai yang tiap hari terpaparkan oleh limbah yang dikirim oleh saudara mereka di hulu sungai. Persoalan ini sekali lagi tidak sederhana bila menimbang jutaan orang yang terjangkit penyakit bahkan berujung pada kematian yang mencapai 50.000 jiwa per tahun itu.
Akhirukalam, republik ini punya mimpi besar. Dan mimpi itu hanya dapat diwujudkan bila anak-anak kita sehat bila anak-anak itu juga menularkan pengetahuan soal sanitasi ke lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, mereka dapat senantiasa belajar bahkan berinovasi dengan pikiran-pikiran kreatif mereka. Dapat pula andil memproduksi sesuatu dengan dukungan lingkungan yang kondusif.
Tegasnya, pembangunan infrastruktur sanitasi maupun upaya penyadaran terhadap anak-anak supaya mampu berkontribusi untuk mewujudkan ketersediaan sanitasi bagi anak itu sendiri dan masyarakat sekitarnya merupakan landasan bagi Indonesia yang kuat.
Sumber : Kompas Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar