Pemerintah melalui Millenium Development Goals (MDG's) menargetkan
10.000 desa di Indonesia menerapkan Perilaku Hidup Sehat Bersih (PHBS)
pada 2013. Kabupaten Lembata, Nusatenggara Timur juga tergerak
berkontribusi. Dipayungi program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM), kini 19 desa di Lembata berhasil mengubah perilaku masyarakat
menjadi lebih sehat.
Ketua Tim Pelaksana Pokja AMPL (Air Minum Penyehatan Lingkungan) Kabupaten Lembata, Maria G Meti, mengatakan pemerintah daerah menargetkan pada 2012 jumlah desa total sanitasi akan bertambah menjadi 30 desa.
"Program STBM terkendala biaya karena APBN yang minim. Namun Lembata menargetkan, pada 2012 nanti jumlah desa total sanitasi bertambah 11 dari 19 yang ada saat ini," jelas Maria kepada Kompas.com di Watodiri, Ile Ape, Lembata, Nusatenggara Timur, Sabtu (16/4/2011).
Dua desa di kecamatan Ile Ape, Lembata, membuktikan keberhasilannya menerapkan PHBS. Desa Lamaau dan Desa Watodiri, diresmikan asisten I bupati Lembata, Nicolaus Paji Learian, menjadi desa total sanitasi. Di masing-masing desa ini berdiri tugu yang menandakan warga Lamaau dan Watodiri berkomitmen untuk hidup bersih dan sehat. Pada 28 April 2011 nanti, kecamatan Lebatukan juga akan menyusul kecamatan Ile Ape meresmikan desa total sanitasi.
"Saya menyebutnya tugu tampar karena dengan melihat tugu tersebut kita seperti menampar diri sendiri untuk selalu menjalani perilaku hidup sehat. Agar nanti, anak cucu bisa menjalani hidup lebih sehat, tak lagi menjalani kebiasaan lama seperti buang air besar sembarangan," jelas kepala desa Watodiri, Robertus Sayang Ama saat meresmikan desanya sebagai desa total sanitasi.
Bukan soal mudah bagi warga dua desa ini untuk merubah perilaku. Kebiasaan buang air besar sembarangan menjadi perilaku sehari-hari selama bertahun-tahun. Namun sejak 1,5 tahun lalu, kepala desa dan warganya membuktikan dua desa di pesisir terbuka serta mau dan mampu mengubah perilakunya.
Program pemicuan yang dilakukan fasilitator dan sanitarian dari puskesmas kecamatan Ile Ale membuahkan hasil. Warga bersikap terbuka, tak tersinggung karena dipicu mengubah perilaku, tetapi justru tergugah dan tergerak untuk memedulikan kesehatan diri dan lingkungan melalui lima pilar dan satu pilar lokal.
Lima pilar nasional terdiri dari bebas BABS (buang air besar sembarangan), CTPS (cuci tangan pakai sabun), pengelolaan limbah cair, pengelolaan air minum, mengelola sampah. Sedangkan satu pilar lokal adalah pengasingan ternak, memisahkan ternak seperti babi atau kambing dari lingkungan tempat tinggal.
Lembata dicontoh Laos
Jika Indonesia belajar dari Bangladesh mengenai Community Lead Total Sanitation (CLTS), maka Laos belajar dari Indonesia, dengan datang ke Lembata memelajari STBM. Pendekatan yang dilakukan fasilitator dari pemerintah daerah dan Plan Indonesia lebih kepada penyadaran, membuka pikiran warga dan menggerakkan mereka melakukan STBM secara mandiri dan tanpa paksaan.
STBM menjadi program nasional untuk menurunkan penyakit berbasis lingkungan. Kebiasaan BABS di banyak desa di Lembata memicu sejumlah penyakit seperti diare dan malaria.
"Fokus pada pemicuan untuk merubah perilaku lebih efektif dibandingkan menyediakan fasilitas fisik. Bantuan fisik hanya bertahan satu bulan, setelah itu WC menjadi monumen. Dengan mengubah perilaku melalui lima pilar, penyakit berbasis lingkungan bisa diturunkan 90 persen. Bahkan jika pilar enam, pengasingan ternak, dijalankan takkan ada lagi yang sakit. Jika pilar satu dan enam dijalankan, pilar lainnya akan lebih mudah, karena mengubah kebiasaan BABS dan memisahkan ternak memang tak mudah bagi warga," jelas
Muhammad Thamrin, Program Manager Plan Indonesia Unit Lembata pada acara yang sama.
Jika perilaku lama warga desa di Lembata adalah BABS di dekat batu atau pohon besar, kini mereka sudah memiliki kakus di rumah masing-masing. Di desa Lamaau misalnya, 75 KK sudah seluruhnya memiliki kakus yang berlokasi di dalam atau di luar rumah.
Sedangkan di desa Watodiri 133 rumah tangga memiliki MCK. PHBS yang dijalankan 19 desa di Lembata, diharapkan bisa mewujudkan lingkungan sehat dan mendukung tumbuh kembang anak. Anak-anak tidak bisa mewujudkan potensinya jika lingkungan tidak sehat, karena anak tidak bisa tumbuh maksimal.
Masalah sanitasi buruk juga menyebabkan malnutrisi dan kematian bayi. Desa pesisir di kepulauan Flores ini menjadi contoh bagi desa lain di sekitarnya, bahkan bagi daerah di luar NTT juga di luar negeri.
Sumber : Kompas Online
Ketua Tim Pelaksana Pokja AMPL (Air Minum Penyehatan Lingkungan) Kabupaten Lembata, Maria G Meti, mengatakan pemerintah daerah menargetkan pada 2012 jumlah desa total sanitasi akan bertambah menjadi 30 desa.
"Program STBM terkendala biaya karena APBN yang minim. Namun Lembata menargetkan, pada 2012 nanti jumlah desa total sanitasi bertambah 11 dari 19 yang ada saat ini," jelas Maria kepada Kompas.com di Watodiri, Ile Ape, Lembata, Nusatenggara Timur, Sabtu (16/4/2011).
Dua desa di kecamatan Ile Ape, Lembata, membuktikan keberhasilannya menerapkan PHBS. Desa Lamaau dan Desa Watodiri, diresmikan asisten I bupati Lembata, Nicolaus Paji Learian, menjadi desa total sanitasi. Di masing-masing desa ini berdiri tugu yang menandakan warga Lamaau dan Watodiri berkomitmen untuk hidup bersih dan sehat. Pada 28 April 2011 nanti, kecamatan Lebatukan juga akan menyusul kecamatan Ile Ape meresmikan desa total sanitasi.
"Saya menyebutnya tugu tampar karena dengan melihat tugu tersebut kita seperti menampar diri sendiri untuk selalu menjalani perilaku hidup sehat. Agar nanti, anak cucu bisa menjalani hidup lebih sehat, tak lagi menjalani kebiasaan lama seperti buang air besar sembarangan," jelas kepala desa Watodiri, Robertus Sayang Ama saat meresmikan desanya sebagai desa total sanitasi.
Bukan soal mudah bagi warga dua desa ini untuk merubah perilaku. Kebiasaan buang air besar sembarangan menjadi perilaku sehari-hari selama bertahun-tahun. Namun sejak 1,5 tahun lalu, kepala desa dan warganya membuktikan dua desa di pesisir terbuka serta mau dan mampu mengubah perilakunya.
Program pemicuan yang dilakukan fasilitator dan sanitarian dari puskesmas kecamatan Ile Ale membuahkan hasil. Warga bersikap terbuka, tak tersinggung karena dipicu mengubah perilaku, tetapi justru tergugah dan tergerak untuk memedulikan kesehatan diri dan lingkungan melalui lima pilar dan satu pilar lokal.
Lima pilar nasional terdiri dari bebas BABS (buang air besar sembarangan), CTPS (cuci tangan pakai sabun), pengelolaan limbah cair, pengelolaan air minum, mengelola sampah. Sedangkan satu pilar lokal adalah pengasingan ternak, memisahkan ternak seperti babi atau kambing dari lingkungan tempat tinggal.
Lembata dicontoh Laos
Jika Indonesia belajar dari Bangladesh mengenai Community Lead Total Sanitation (CLTS), maka Laos belajar dari Indonesia, dengan datang ke Lembata memelajari STBM. Pendekatan yang dilakukan fasilitator dari pemerintah daerah dan Plan Indonesia lebih kepada penyadaran, membuka pikiran warga dan menggerakkan mereka melakukan STBM secara mandiri dan tanpa paksaan.
STBM menjadi program nasional untuk menurunkan penyakit berbasis lingkungan. Kebiasaan BABS di banyak desa di Lembata memicu sejumlah penyakit seperti diare dan malaria.
"Fokus pada pemicuan untuk merubah perilaku lebih efektif dibandingkan menyediakan fasilitas fisik. Bantuan fisik hanya bertahan satu bulan, setelah itu WC menjadi monumen. Dengan mengubah perilaku melalui lima pilar, penyakit berbasis lingkungan bisa diturunkan 90 persen. Bahkan jika pilar enam, pengasingan ternak, dijalankan takkan ada lagi yang sakit. Jika pilar satu dan enam dijalankan, pilar lainnya akan lebih mudah, karena mengubah kebiasaan BABS dan memisahkan ternak memang tak mudah bagi warga," jelas
Muhammad Thamrin, Program Manager Plan Indonesia Unit Lembata pada acara yang sama.
Jika perilaku lama warga desa di Lembata adalah BABS di dekat batu atau pohon besar, kini mereka sudah memiliki kakus di rumah masing-masing. Di desa Lamaau misalnya, 75 KK sudah seluruhnya memiliki kakus yang berlokasi di dalam atau di luar rumah.
Sedangkan di desa Watodiri 133 rumah tangga memiliki MCK. PHBS yang dijalankan 19 desa di Lembata, diharapkan bisa mewujudkan lingkungan sehat dan mendukung tumbuh kembang anak. Anak-anak tidak bisa mewujudkan potensinya jika lingkungan tidak sehat, karena anak tidak bisa tumbuh maksimal.
Masalah sanitasi buruk juga menyebabkan malnutrisi dan kematian bayi. Desa pesisir di kepulauan Flores ini menjadi contoh bagi desa lain di sekitarnya, bahkan bagi daerah di luar NTT juga di luar negeri.
Sumber : Kompas Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar