Republik ini punya mimpi besar, yaitu meraih predikat sebagai negara
maju pada tahun 2025 dengan pendapatan 14.250-15.500 dollar AS per
kapita.
Nilai total perekonomian negeri kepulauan ini pada tahun itu
juga ditaksir berkisar 4-4,5 triliun dollar AS.
Indonesia pun akan
berada di jajaran negara maju dunia, setara dengan negara-negara di
belahan dunia barat.
Mimpi besar itu berdasarkan Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015 yang
hanya dapat diraih dengan pertumbuhan ekonomi riil 6,4-7,5 persen
(2011-2014).
Lantas harus dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi
sekitar 8,0-9,0 persen (2015-2025). Pertumbuhan secepat itu pun
mensyaratkan lokomotif yang bergerak cepat tanpa pernah lelah atau
terbatuk-batuk.
Nah, ada selang jarak 14 tahun, mulai tahun 2011
hingga tahun 2025. Apa artinya? Artinya, mimpi untuk mewujudkan
Indonesia yang besar tidak dapat hanya dibebankan di pundak para
pemimpin negeri yang kini sedang memberi arah negeri ini. Pemimpin
berusia 50-60 tahun tentu saja menjelang masa senjanya ketika memasuki
tahun 2025.
Jadi, karena usia produktif pekerja berkisar 15-64
tahun, kiranya tepat apabila mulai meletakkan harapan dari anak-anak
berusia satu tahun ke atas. Masa depan Indonesia bergantung pada
anak-anak kita itu. Terlebih, bila kita mencermati demografi umum
penduduk Indonesia di tahun 2010-2013, ternyata pada periode itulah
indeks ketergantungan Indonesia mencapai angka terendah.
Dalam
kondisi seperti apa dapat diraih angka terendah dari indeks
ketergantungan? Ya, ternyata berdasarkan proyeksi, tepat di tahun 2025,
dari total seluruh penduduk Indonesia diperkirakan 10 persennya adalah
kaum tua berusia 65 tahun, 20 persennya adalah anak-anak berusia 15-64
tahun, dan 70 persennya pekerja berusia 15-64.
Lantas, sumber daya
manusia dengan kualitas macam apa yang dapat kita ciptakan? Pekerjaan
rumah apa yang mesti dikerjakan untuk menyiapkan kaum muda, juga
anak-anak bagi Indonesia di tahun 2025?
Jangan dulu melangkah
terlalu jauh dalam hal peningkatan kualitas SDM kita. Jangan cuma
berpikir perangkat lunak karena masih ada urusan perangkat keras berupa
prasarana yang harus dibangun. Sebagian dari masyarakat, bolehlah
ditingkatkan kemampuannya, pengetahuannya, dan mengimplementasikannya
secepat mungkin.
Namun ingat, masih ada persoalan mendasar seperti
masalah gizi buruk pada balita. Ada banyak kasus di mana sebagian waktu
yang dimiliki anak-anak malah dihabiskan untuk memulihkan kesehatan.
Maka,
jangankan punya peluang membangun dan menikmati pembangunan, ternyata
Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit diare dan 50.000
kematian dini setiap tahun, serta 50.000 kematian dini tiap tahun. Mari
kita camkan jumlah korban itu.
Sungguh, laporan bertajuk ”Economic
Impact of Sanitation in Indonesia”, yang di luncurkan oleh Water
Sanitation Program East Asia & the Pacific (WSP-EAP) Bank Dunia pada
bulan Agustus 2008, benar-benar luar biasa menakutkan. Kematian akibat
penyakit yang dipicu kurangnya sanitasi ternyata lebih tinggi dari
kematian akibat kecelakaan di jalan raya yang lebih dari 30.000 jiwa per
tahun (2010).
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan
Umum Budi Yuwono menambahkan, Bappenas melaporkan proporsi rumah tangga
dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak di tahun 2009
baru mencapai 51,19 persen. Maka dapat kita perkirakan hampir 50 persen
anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses
terhadap sanitasi layak, kata dia.
Ditambahkan Budi Yuwono,
berarti hampir separuh anak Indonesia terancam perkembangannya akibat
buruknya sanitasi. Sungguh mengagetkan mengetahui betapa rapuhnya
angkutan muda kita, anak-anak kita yang diharapkan membuat negeri ini
jaya.
Infrastruktur
Lebih mengherankan lagi,
selama ini kita gaduh soal infrastruktur jalan tol yang lamban dibangun,
ribut tentang infrastruktur rel kereta yang lambat bertambah, selalu
protes keras tentang infrastruktur listrik yang tak memuaskan, tetapi
lupa membangun infrastruktur sanitasi.
Mirisnya, dari laporan
Economic Impact of Sanitation in Indonesia kembali kita dapat mengutip
data bahwa biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp 13,3 triliun per
tahun. Biaya sebesar itu hampir sama dengan alokasi APBN bidang sanitasi
yang dialokasikan untuk lima tahun. Sungguh, kita harus serius untuk
membangun sanitasi supaya kerugian tak membengkak.
Kita harus
menyingkirkan pandangan sinis terhadap pembangunan saluran pembuangan
limbah, pembuangan sampah, hingga penjernihan air yang mungkin kini
dipandang memboroskan anggaran atau tidak berdampak langsung,
katakanlah, dibandingkan pembangunan tol untuk mengatasi kemacetan.
Pembangunan infrastruktur sanitasi harus dipandang sebagai investasi
untuk masa depan.
Maka, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pun
menegaskan, untuk mencapai target akses terhadap sanitasi untuk 62,41
persen rumah tangga pada tahun 2015 akan dibangun beberapa proyek
infrastruktur. Alokasi dana yang disiapkan pemerintah pun cukup besar
mencapai Rp 14,2 triliun hingga tahun 2014.
Beberapa proyek itu,
di antaranya, penambahan jaringan air limbah terpusat di 11-16 kota,
pembangunan prasarana dan sarana air limbah sistem
on site
dengan prioritas di 210 kota terpilih, pembangunan prasarana persampahan
untuk mengurangi timbunan sampah sebesar 20 persen, perbaikan manajemen
pelayanan persampahan kota di 210 kota, prioritas dan pembangunan
drainase perkotaan untuk pengurangan genangan seluas 4. 600 hektar di 50
kawasan strategis.
Pembangunan infrastruktur-infrastruktur itu merupakan pengejawantahan dari komitmen kuat pemerintah atas pembangunan sanitasi.
Pada
Sidang Umum PBB di akhir Juli 2010, Indonesia, misalnya, menjadi salah
satu dari 122 negara yang menetapkan sanitasi sebagai hak asasi manusia.
Indonesia juga termasuk ke dalam 189 negara pendukung Deklarasi
Milenium yang menetapkan sanitasi sebagai sasaran Millenium Development
Goals 2015.
Terlebih, infrastruktur dinilai ampuh untuk memutus
lingkaran setan kemiskinan-kematian-kemiskinan. Berulang kali Utusan
Khusus MDGs Nila Djuwita Moeloek kepada media mengatakan, tanpa
ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik, penyakit akan mendekat
sehingga warga terpaksa ke dokter dan mengeluarkan dana untuk itu.
Kemiskinan dan lingkungan juga terkait. Lingkungan akan terganggu jika
masyarakat miskin .
Bahkan, Kementerian PU juga bekerja sama
dengan negara tetangga untuk mengatasi persoalan sanitasi ini. Pada
Kamis (4/8/2011), Menteri Pekerjaan Umum dan Direktur Jenderal
Australian AID Baxter di Banjarmasin meresmikan sekaligus
menyerahterimakan pemanfaatan sambungan rumah (SR) air minum dan air
limbah di wilayah Kalimantan dan Jawa.
Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR) di Jawa dan Sumatera, dengan bantuan Kementerian PU dan
Pemerintah Australia, akhirnya dapat menikmati layanan air minum bagi
11.250 sambungan rumah dan 4.826 sambungan rumah untuk air limbah.
Selain
itu, di bulan Agustus 2011 Bank Pembangunan Asia menjanjikan pinjaman
sebesar 100 juta dollar AS untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur
dasar di desa dan peningkatan infrastruktur sanitasi di perkotaan meski
proyek itu haruslah berbasis komunitas.
Perilaku
Di tengah upaya Kementerian PU yang memanfaatkan APBN yang terbatas
bahkan sampai meminjam dari luar negeri guna membangun infrastruktur
sanitasi dan air; tragisnya ternyata 76,3 persen dari 53 sungai di Jawa,
Sumatera, Bali, dan Sulawesi telah tercemar bahan organik dan 11
sungai, terutama oleh amonium. Itu merupakan dampak dari perilaku
pembuangan limbah yang sembarangan.
Jangan heran bila Menteri PU
menegaskan bahwa masalah sanitasi di Indonesia bukan sekadar minimnya
infrastruktur, melainkan juga buruknya perilaku.
Masyarakat harus
meningkatkan kepedulian terhadap sanitasi dan meninggalkan perilaku
buang air besar sembarangan (BABS) dan praktik buang limbah ke
selokan-selokan, saluran air, atau badan air seperti sungai.
Bicara soal kepedulian terhadap sanitasi, mungkin penduduk Indonesia berada di urutan bawah. Tahun 2010 ketika
Kompas
mempelajari Integrated Water Resources Management (IWRM) di Stockholm,
Swedia, terlihat betul penghormatan warga terhadap air dan sanitasi. Di
areal pengambilan air minum, misalnya, jangankan membuang sampah, siapa
pun dilarang berenang di sana.
Untuk lebih membuka mata kita,
patut pula diinformasikan bahwa tidak ada satu rumah pun boleh dibangun
di Swedia tanpa ada jaminan mampu mengoneksikan rumah itu dengan
jaringan air minum dan pengolahan limbah. Sederhananya, izin mendirikan
bangunan tak akan diterbitkan tanpa ada jaminan ketersediaan dua hal
tersebut.
Bagaimana di Indonesia? Daerah aliran sungai ibaratnya
WC terpanjang di dunia. Memberi peringatan terhadap warga di tepi sungai
untuk menjaga kualitas air dan kondisi sanitasi saja sulitnya bukan
main.
Baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun
pemerhati masalah sanitasi seolah telah berteriak-teriak di padang
gurun, tetapi hasilnya nyaris nihil.
Warga di tepi sungai lupa
bahwa tiap sampah yang dihanyutkan di sungai akhirnya memberatkan kerja
instalasi pengolah air minum. Biaya produksi air pun membengkak,
sementara tarif selalu ditekan secara politis. Akibatnya, misalnya, PDAM
merugi dan pada gilirannya jaringan perpipaan tak dapat menggurita.
Mereka pula yang akhirnya dirugikan.
Bangsa ini pun membutuhkan
agent of change , motor perubahan. Semacam duta sanitasi. Dan
dipilihlah metode untuk mendidik anak-anak melalui kegiatan Jambore
Sanitasi 2011. Kegiatan itu sudah dilangsungkan pada 20 25 Juni 2011 di
Mercure Hotel di Ancol, Jakarta. Sebanyak 198 peserta pelajar SMP dan 66
pendamping dari 33 provinsi di Indonesia dibukakan mata dan hatinya
dalam jambore tersebut.
Fakta-fakta terkait tema Sanitasi dan
Kualitas Anak Indonesia telah dibeberkan, contoh-contoh kasus
ditampilkan, supaya para anak-anak menularkan di daerah asal soal
pentingnya sanitasi sebagai hak dasar setiap anak Indonesia.
Ada
kesan pengetahuan tentang jambore itu dangkal untuk warga kelas menengah
yang tinggal di perkotaan. Masak diajarkan harus mencuci tangan, buang
air di jamban, hingga metode mengolah limbah? Namun, harus diingat masih
banyak penduduk Indonesia yang sama sekali tak mempunyai akses terhadap
sanitasi bahkan air bersih.
Ada jutaan warga di hilir sungai yang
tiap hari terpaparkan oleh limbah yang dikirim oleh saudara mereka di
hulu sungai. Persoalan ini sekali lagi tidak sederhana bila menimbang
jutaan orang yang terjangkit penyakit bahkan berujung pada kematian yang
mencapai 50.000 jiwa per tahun itu.
Akhirukalam, republik ini
punya mimpi besar. Dan mimpi itu hanya dapat diwujudkan bila anak-anak
kita sehat bila anak-anak itu juga menularkan pengetahuan soal sanitasi
ke lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, mereka dapat senantiasa
belajar bahkan berinovasi dengan pikiran-pikiran kreatif mereka. Dapat
pula andil memproduksi sesuatu dengan dukungan lingkungan yang kondusif.
Tegasnya,
pembangunan infrastruktur sanitasi maupun upaya penyadaran terhadap
anak-anak supaya mampu berkontribusi untuk mewujudkan ketersediaan
sanitasi bagi anak itu sendiri dan masyarakat sekitarnya merupakan
landasan bagi Indonesia yang kuat.
Sumber :
Kompas Online