14 Nov 2011

Lima Puluh Persen Pengidap HIV di Pandeglang Meninggal


50 Persen Pengidap HIV di Pandeglang Meninggal  

SEJAK pertama pengidap HIV di Kabupaten Pandeglang teridentifikasi pada 2004 lalu, hingga kini (2011 red) jumlah penderitanya sudah mencapai 32 orang. Dari jumlah tersebut setengah sudah meninggal karena AIDS.
Menurut salah seorang Pengurus Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang menangani bidang penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Pandeglang Dr. Hj. Asmani Raneyanti, MHA dari 32 yang terdiagnosa positif 16 diantaranya positif HIV dan 16 lainnya positif AIDS sudah meninggal.
Sementara itu berdasarkan hasil pengamatan (surveilans) yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang pada periode 2010-2011 juga telah teridentifikasi sebanyak 27 orang mengidap HIV, namun untuk memastikan positif atau tidaknya masih perlu pembuktian tes lebih lanjut.
Hal tersebut diungkapkan Asmani dihadapan sejumlah awak media disela-sela kegiatan orientasi penulisan berita AIDS yang komprehensif untuk wartawan Pandeglang yang diselenggarakan KPA Banten, di Oproom III Setda Pandeglang, Jum’at (11/11).
Dalam kesempatan tersebut hadir narasumber dari Media Relations Officer (MRO) KPA Banten Bang Syaeful W. Harahap yang juga utusan Austalian AID sebuah lembaga internasional Australia yang konsen terhadap masalah AIDS di Indonesia.
Asmani menjelaskan AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrom) bukan penyakit melainkan suatu kondisi seseorang yang telah tertular HIV (Human Immunodeficency Virus). “Penyebarannya oleh virus HIV yang dapat ditularkan hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu,” jelasnya.
Oleh karenanya, dia memaparkan penularan HIV bisa terjadi hanya karena melakukan hubungan seks dengan yang mengidap HIV positif, menerima transfusi darah, menerima cangkok organ tubuh, menggunakan jarum suntik, dan saat pemberian Air Susu Ibu (ASI), itupun kesemuanya harus mengandung HIV. Dan oleh sebab penularan itu, pengidap HIV/AIDS dapat terjadi pada semua kelompok umum termasuk bayi, anak dan ibu rumah tangga sekalipun.
“Kelompok masyarakat yang paling berisiko tertular HIV adalah mereka yang berganti-ganti pasangan tanpa adanya alat pengaman seperti kondom dan atau pengguna narkoba suntik,” paparnya.
Lebih lanjut Asmani yang juga Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit Dinkes Pandeglang mengatakan, KPA Pandeglang berkoordinasi dengan SKPD terkait telah melakukan upaya konkret untuk terus menekan angka penularan HIV, diantaranya melakukan screening (tes HIV) terutama dikalangan kelompok berisiko seperti lembaga pemasyarakatan, tempat lokalisasi PSK maupun melakukan pemetaan kelompok resiko tinggi lainnya.
Diakui Asmani, penanggulangan HIV/AIDS di Pandeglang masih perlu dorongan semua pihak termasuk media massa. “Kalau melihat cara penularannya, sangat mungkin masih banyak pengidap HIV di Pandeglang yang belum teridentifikasi, karena ketidaktahuan masyarakat,” katanya.
Media Massa Sebagai Media Pembelajaran
Sementara itu pada sessi berikutnya, MRO KPA Banten Bang Syaiful W. Harahap dalam pemaparannya mengatakan, saat ini peran media massa sangat penting dalam penyampaian informasi yang benar tentang suatu kejadian kasus HIV/AIDS.
Salah satu fungsi media sebagai media pendidikan sangat strategis karena hingga kini masih banyak masyarakat yang belum secara utuh terpapar informasi soal HIV/AIDS.
"Akibat ketidaktahuan ini menjadi penyebab semakin tingginya tingkat penularan HIV baik dikalangan dewasa maupun remaja serta pada kelompok-kelompok masyarakat paling berisiko tertular HIV terutama di kalangan Penjaja Seks Komersial (PSK) atau Pengguna Jarum Narkoba Suntik (Penasum).
“Dampak penularan HIV pada kelompok berisiko sangat besar karena mereka bisa menularkan pada anggota masyarakat lainnya karena ketidaktahuan cara penularan dan pencegahannya,” jelasnya.
Pada sisi lain ujar Bang Syaiful sapaan akrab wartawan senior spesialis dalam penulisan HIV/AIDS yang telah berkiprah selama 20 tahun ini menilai, perhatian media massa terhadap AIDS sebagai berita terbilang sangat rendah. “Bahkan boleh dikatakan buruk,” ungkapnya. Padahal, lanjut dia, pada negara yang telah berhasil menekan perkembangan HIV/AIDS,  peran media massa sebagai media pembelajaran sangat dipentingkan.
“Tingkat pemahaman sebagian media di Indonesia terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Sehingga untuk peningkatan perannya sebagai media pembelajaran masyarakat diperlukan pelatihan wartawan secara sistematis sebagai bagian dari critical mass.,” tegasnya.
Selain berbagi ilmu tentang jurnalistik, Syaeful juga menjelaskan beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penulisan berita tentang AIDS diantaranya perlunya pemberitaan yang rutin tidak menunggu pada isu kasus HIV/AIDS yang terjadi. “Kita harus berupaya menghindari stigma moral pada penderita HIV/AIDS dan penggunaan bahasa yang benar dan tidak menyimpang (sesuai fakta red),” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Syaiful meminta media lebih berperan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang AIDS.
“Berita HIV/AIDS biasanya hanya reaktif yang selalu menunggu kejadian atau peristiwa, seperti pembeberan hasil surveilans tes HIV di kalangan PSK dan waria, kasus HIV terdeteksi di PMI, termasuk kalau pasien meninggal di rumah sakit,” paparnya.
Padahal kata Syaiful, dibalik kejadian AIDS banyak ditemukan data, fakta atau informasi tentang HIV/AIDS yang layak jadi berita. “Inilah yang harusnya secara rutin dilakukan media untuk mencegah penularan AIDS bagi masyarakat luas,” katanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar