14 Nov 2013

Repleksi Hari Kesehatan Nasional ke-49 Tahun 2013



Refleksi Hari Kesehatan Nasional
Jangan Hukum Karena Terganggu Jiwanya
Oleh : Mei Wijaya
Editor : Aas Arbi


MOMENTUM Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-49 tahun 2013 yang diperingati tanggal 12 November patut dijadikan media untuk melakukan refleksi tentang apa yang dapat kita berikan bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Harus diakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan segenap jajaran kesehatan guna mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan. 

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Bab II pasal 3).

Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.

Setiap orang berhak atas kesehatan. Kesehatan yang dimaksud adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. (Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1). Namun demikian Undang-undang juga memberikan kewajiban sesuai pasal bab III diantaranya secara tersurat memuat  bahwa setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kewajiban sebagaimana dimaksud itu menjadi tanggung jawab semua pihak dalam upaya kesehatan. Dengan pertimbangan itulah penulis sejak 2010 secara aktif melakukan penjangkauan terhadap para penderita gangguan jiwa yang terpasung.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas 2007) rata-rata penderita gangguan mental emosional di Indonsia seperti cemas dan depresi mencapai 11,6 persen atau sekitar 19 juta jiwa. 18 ribu mereka yang menderita gangguan jiwa akut tersebut ternyata mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dengan hidup dipasung. Banyak di antara mereka yang dipasung oleh sanak keluarga sendiri, padahal menurut ahli kesehatan jiwa gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang bisa diobati. Praktik pemasungan atas mereka yang terganggu jiwanya hingga saat ini masih terjadi di Indonesia, termasuk di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

Kampanye Bebas Pasung
Sejak tiga tahun lalu Kementerian Kesehatan RI mengkampanyekan Pencanangan Indonesia Bebas Pasung 2014, yang dimulai pencanangannya  pada 10 Oktober 2010 lalu.

Sejak saat itu penulis selaku koordinator bersama para Relawan Anti Pasung (RAP) Kabupaten Pandeglang sering mengevakuasi penderita gangguan jiwa yang mengalami ketidakberdayaan akibat diisolasi sedemikian rupa seperti dikurung di kandang, diikat dengan rantai, kakinya ditindih balok dan sejenisnya.

Awal mula kiprah penulis dimulai pada awal November 2010, saat kali pertama mengevakuasi pasien gangguan jiwa yang di pasung dengan cara dirantai. Penulis kebetulan berprofesi perawat dan menjadi Kepala Puskesmas di Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang menghubungi pihak RSJ Soeharto Heardjan, Grogol Jakarta. Keesokan harinya Tim RSJ turun langsung melakukan penjemputan di Kampung Maja Masjid, Kecamatan Majasari  tepatnya pada tanggal 9 November.

Dengan  semakin banyaknya kasus gangguan jiwa yang dipasung di luar wilayah kerja Majasari yang dilaporkan, akhirnya penulis bersama suami (dr. Suradal Sastradibrata, SpOG) membentuk Tim Relawan Anti Pasung (RAP). Sejak saat itu para relawan bergerak menginformasikan kepada masyarakat melalui media elektronik (TV) nasional dan lokal, media cetak dan penyuluhan langsung disetiap ada kesempatan.

Alhamdulilah sampai tanggal 17 Oktober 2013 sudah 50 orang pasien yang dipasung yang berhasil dibebaskan dalam delapan kali penjemputan oleh Tim Kesehatan Jiwa RSJ Soeharto Heardjan dari tahun 2010 s/d 2013. Dari 50 orang yang sudah di evakuasi 14 orang diantaranya adalah perempuan dengan faktor penyebab beragam.

Untuk pasien-pasien rawat jalan yang sudah diintervensi melalui kunjungan rumah sebanyak 115 orang yang tersebar di 11 Kecamatan di Kabupaten Pandeglang yaitu Kecamatan Cadasari,  Karangtanjung, Pandeglang, Karoncong, Majasari, Banjar, Mekarjaya, Kaduhejo, Jiput, Saketi, Labuan, Cisata , dan Menes serta Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak. Kesemuanya telah disarankan untuk kontrol lanjutan di RSUD Berkah Pandeglang  atau rumah sakit terdekat dan secara rutin tetap dipantau perkembangannya oleh relawan.

Pasien-pasien dengan gangguan jiwa yang rawat jalan  yang sudah diintervensi kebanyakan menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sementara untuk yang tidak punya Kartu Jamkesmas, pasien mendaftar sebagai pasien umum di RSUD Berkah Pandeglang akan tetapi resep obat mereka bawa ke Relawan untuk di beri obat sesuai resep. Tidak jarang bila stok obat di rumah sakit habis, pasien yang menggunakan Jamkesmaspun  resepnya dibawa ke Relawan untuk diberi obat sesuai resep. Semua obat gratis, tidak dipungut biaya.

Adapun prosedur yang dilakukan Relawan selama ini yakni bila ada laporan dari warga masyarakat, kader kesehatan, keluarga pasien dan lainnya, tim meninjau lokasi untuk memastikan kebenaran dari laporan tersebut.
Bila pasien gangguan jiwa bisa dirawat jalan, disarankan untuk langsung dibawa ke RSUD Berkah Pandeglang sesuai jadwal Poli Jiwa pada Hari Selasa atau Kamis.

Untuk pasien jiwa yang di pasung Tim Relawan memastikan  pasien di pasung menggunakan apa, dikurung, dirantai , dibalok atau lainnya. Selanjutnya melakukan anamnesa awal serta melengkapi persyaratan untuk dibawa ke RSJ Soeharto Herdjan Jakarta.
Bila semua persyaratan sudah siap, Tim Relawan membuat surat permohonan penjemputan ke Direktur RSJ Soeharto Heardjan Jakarta, siap untuk dilakukan penjemputan.

Kisah “Miris”
Selama melakukan evakuasi bersama tim dari RSJ Soeharto Heardjan banyak cerita duka yang penulis temui  salah satunya ada pasien korban pasung yang ditempatkan dibawah sebuah Pohon Melinjo yang dirantai kaki dan tangannya selama setahun. Tidak ada alas maupun atap yang menaungi pada saat hujan atau panas. Duduknyapun di satu kayu yang roboh. Ketika pasien mau buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) semuanya dilakukan ditempat itu. Betul-betul “miris” hati ini melihatnya.

Korban telah dirampas hak-haknya selaku manusia, sementara sang istri pasien ternyata juga menderita gangguan jiwa. Sementara anaknya  ada empat orang yang paling besar baru kelas 4 SD dan yang kecil berumur tiga tahun. Namun saat ini Alhamdulilah setelah dirawat selama tiga pekan di RSJ Soeharto Heardjan, sekarang pasien tersebut sudah menjadi sopir taxi di Jakarta. Sekarang dia tinggal di Jakarta dan mulai membangun rumah buat istri dan anak-anaknya.

Dari 50 orang  pasien korban pemasungan yang sudah di rawat di RSJ Soeharto Heardjan terdapat 2 orang yang harus kembali di rawat. Hal itu dikarenakan tidak ada dukungan dari pihak keluarga untuk mengontrol minum obat. Selain itu pasien tidak dilibatkan dalam kegiatan harian atau dibiarkan oleh pihak keluarga (pembiaran red).

Kedepan penulis mempunyai  rencana ingin mengembangkan kegiatan para relawan saat diantaranya harapan ingin mempunyai satu gedung untuk melakukan kegiatan pemberdayaan pasien-pasien yang sudah sembuh  untuk diberikan pelatihan/ketrampilan sesuai dengan kegemarannya sehingga mengurangi tingkat kekambuhan. Dan hal itu dapat dilakukan bersama-sama dengan dinas terkait (Dinsos)

Penulis juga berharap  suatu waktu nanti, syukur-syukur bisa segera ada dokter spesialis jiwa yang menetap di Kabupaten Pandeglang, sehingga RSUD Berkah Pandeglang bisa mempunyai Bangsal Jiwa sendiri yang bisa ditangani langsung oleh dokter jiwa 24 jam. Sehingga untuk kasus-kasus gangguan jiwa ringan bisa langsung segera diatasi dengan harapan bisa  mengurangi jumlah pasien jiwa yang di pasung. (*)

Hj. Mei Wijaya, SKM., MARS
Koordinator Relawan Anti Pasung, Kabupaten Pandeglang

Tulisan ini juga dipublikasikan di koran Radar Banten edisi Selasa (12/11/2013). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar