21 Apr 2011

Merindukan Sosok dan Sepak Terjang Pejuang Kartini di Banten

Door Duistermis tox Licht”, yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, itulah nama judul buku kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang dikirimkan ke sahabatnya di negeri Belanada bernama Mr.J.H Abendanon. Surat-surat tersebut, kemudian menjadi bukti, betapa besar keinginan seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
 
Saat itu, seorang wanita tidak punya keberanian melawan keinginan orang tuanya untuk dinikahkan, selain pilihan orang tua. Mungkin saat ini, situasi seperti ini tidak akan pernah ditemukan lagi. Apalagi di Propinsi Banten, dimana Gubernur Banten merupakan sosok perempuan pertama di Indonesia yang menduduki posisi strategis di eksekutif. Selain banyak anggota legislatif di setiap tingkatan DPR RI, DPRD Propinsi atau Kabupaten, karena dalam UU No 27 Kedudukan DPR, DPRD disebutkan kuota perempuan 30 persen.
 
Buku Kartini menjadi pendorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan tersebut, tidaklah hanya tertulis di atas kertas, tapi dibuktikan oleh Kartini dengan mendirikan sekolah gratis tidak hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki di daerah Jepara dan Rembang.
 
Sekarang ini, dengan program pemerintah Sembilan Tahun Wajib belajar dan sekolah Sembilan tahun sudah digratiskan, tapi ternyata dalam pelaksanaannya masih ada saja, dimana sekolah SD atapun SMP yang memungut biaya untuk siswa-siswinya. Sungguh perbuatan yang kurang terpuji kalau memang sampai hari ini masih ada saja yang melakukan hal pemungutan biaya.

Kembali pada perjuangan Kartini, Dia mampu membuka penglihatan kaum perempuan di berbagai daerah lain. Sejak itu, sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuhan di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
 
Di era tersebut, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita Indonesia belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh atau suami sendiri, dan lain sebagainya.
 
Saat ini, Banten membutuhkan sosok pejuang-pejuang Kartini Baru untuk dapat memperjuangkan dan memajukan daerah Banten yang dekat dengan Ibukota Jakarta. Banten sebagai Propinsi ke 33 yang umurnya baru Sembilan tahun berjalan jelas sekali perlu didorong untuk terus memberi ruang gerak pada perempuan agar bisa lebih eksis di mata nasional dan internasional.
 
Seperti halnya Raden Ajeng Kartini atau sering biasa disebut dengan RA Kartni, yang lahir tahun 1879 di kota Rembang. Merupakan seorang bangsawan yang taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Lantas dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan
 
Situasi seperti ini tidak membuat surut perjuangannya, lantas menentang walau tak berani karena takut dianggap anak yang durhaka pada orang tuanya. Dalam menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lain yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
 
Selanjutnya, kegiatan membaca menjadi kegemaran setiap harinya, tiada hari tanpa membaca. Berbagai buku, surat kabar dan buku lainnya dibaca. Kalau ada kesulitan memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, selalu ditanyakan pada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia).
 
Saat inilah timbul keinginan dalam memajukan wanita yang ada di Indonesia. Menurutnya, wanita tidak harus didapur, tapi juga harus mempunyai ilmu. Sejak itu, mulailah dikumpulkan teman wanitanya untuk diajarkan menulis, ilmu pengetahuan lainnya. Dalam kesibukannya, tidak henti-hentinya membaca dan menulis surat dengan temannya yang ada di negeri Belanda. Kemudian, menulis surat pada Mr.J.H Abendanon untuk diberikan beasiswa belajar di negeri Belanda.
 
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkannya. karena dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat oleh kedua orangtuanya. Setelah menikah, kemudian ikut suami ke Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya, kemudian berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah-daerah lain. Nama sekolah itu disebut “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, bahkan lebih santun dan menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
 
Pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25 (1879-1904), setelah ia melahirkan putra pertamanya. Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Sosok Dewi Sartika 
Terlepas dari pro kontra, sejarah bangsa Indonesia banyak mengenal nama pahlawan wanita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
 
Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut dihormati dan teladani.
 
Selain Kartini, ada pejuang wanita lain yang berasal dari Jawa Barat yaitu Dewi Sartika. Lahir 4 Desember 1887 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947. Menjadi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
 
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga bangsawan Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Beliau merupakan merupakan keturunan Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI, cucu dari ‘the founding father’ Bandung. Tujuh tahun setelah Uwi (panggilan Dewi Sartika) lahir, Rangga Somanagara dilantik menjadi Patih Bandung.
 
Dewi Sartika telah berhasil membangun sekolah perempuan, sebuah impian yang tidak pernah tercapai oleh Kartini semasa hidupnya. Dengan kegigihan perjuangan Dewi Sartika, ia berhasil mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 (tahun wafat Kartini). Sekolah Kaoetamaan Isteri berkembang pesat, pada tahun 1912 ada sembilan sekolah di berbagai tempat di Pasundan seperti Sumedang, Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan. Sedangkan Sekolah Kartini baru didirikan 11 tahun setelah kematiannya, itu pun atas usaha dan kerja keras Roekmini dan Kardinah (adik-adik Kartini).
 
Pemikiran Dewi Sartika luar biasa, tidak kalah pentingnya dengan Kartini. Dewi Sartika melawan feodalisme yang terjadi pada masaanya. Peran Dewi Sartika amat besar dalam upaya membuat perempuan melek ilmu pengetahuan, tidak sebatas keterampilan tetapi juga politik dan umum. Kita mungkin bertanya mengapa tidak ada Hari Dewi Sartika seperti yang diusulkan keluarganya.
 
Dewi Sartika pun tidak terjebak pada poligami yang lumrah dilakukan perempuan pada waktu itu. Dia bukan hanya memilih untuk tidak menjadi bagian dari poligami, tetapi juga memilih menyuarakan hal itu sebagai satu hal yang harus dihapuskan dari masyarakat. Bahkan keluarganya dibuang karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Berbeda dengan Kartini yang justru bekerja sama dengan Belanda,
 
Ada banyak persamaan antara Kartini dan Dewi Sartika. Keduanya muncul dari keluarga bangsawan. Sama-sama peduli terhadap pendidikan, terutama pendidikan terhadap perempuan. Lalu mengapa Kartini lebih populer dibanding Dewi Sartika? Paling tidak ada dua alas an yangmenggarisbawahi perjuangan mereka, yaitu Kartini lebih ‘go international’ dengan aktivitas surat-menyurat dengan teman-teman pena dari Belanda, kedua Kartini mendapat ‘dukungan’ dari pemerintah Belanda. Banyak pihak menganggap bahwa ayah Dewi Sartika tidak loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda.
 
Seperti halnya Kartini dan Dewi Sartika, memang banyak pejuang yang lahir karena situasi yang melanda saat itu, tetapi di era seperti sekarang ini, maka pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia harus bisa dapat diciptakan melalu rekayasa social yang ahirnya dapat memunculkan pahlawan atau pejuag-pejuang baru yang bisa memperjuangakan nasib masyarakat kecil yang hidupnya seringkali kembang kempis untuk menjalani kehidupan kesehariannya. (sumber: http://www.facebook.com/notes.php?id=352221732554)

Penulis: H. Taufiqurokhman, S.Sos, M.Si











Wakil Ketua Komisi V DPRD Propinsi Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar