2 Mei 2012

Kanker Hentikan Endang Sedyaningsih...


SELASA malam (1/4) seorang teman jurnalis mengirim pesan: Menteri Kesehatan non aktif, Endang Sedyaningsih, dalam kondisi kritis. Sejak tiga pekan lalu, perempuan dokter ahli ginekologi dan obstetri itu dirawat super intensif oleh tim dokter di Paviliun Kencana, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.

Perkembangan kondisi kesehatan Sedyaningsih, menurut keterangan-keterangan hasil wawancara para tokoh yang menjenguk, memang "stabil" atau dikatakan "bertahan". Pers yang menunggui di selasar paviliun VIP RS Cipto Mangunkusumo secara bergantian tidak diijinkan menemui menteri kesehatan; itu sudah jelas.

Akan tetapi, pada pukul 11.43 WIB Rabu, dalam usianya yang 57 tahun, kabar sudah berubah bahwa ibu dua anak lelaki dan satu anak perempuan itu telah berpulang selamanya... 

Sel-sel kanker telah menggerogoti paru-paruperempuan tamatan program doktoral Harvard School of Public Health, Boston, Amerika Serikat, pada 1992. Pada saat dia dirawat di paviliun itu, diketahui stadium kanker paru-parunya telah ada di tingkatan empat alias parah. 

Karena merasa tidak bisa lagi memikul tugas dan kewajiban sebagai menteri, dia mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Susilo Yudhoyono, yang sempat menjenguk. Namun Yudhoyono tidak langsung menunjuk pengganti definitifnya.

Dengan kepergian perempuan bernama lengkap Endang Rahayu Sedyaningsih, yang menikah dengan kolega dokternya, Dr Reanny Mamahit, ini maka Kabinet Indonesia Bersatu II telah dua kali kehilangan tokoh-tokoh pentingnya. Yang pertama adalah Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, pada 21 April lalu, dalam pendakiannya ke puncak Gunung Tambora, NTB.

Nama Sedyaningsih sempat menjadi kontroversi menjelang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II oleh Presiden Susilo Yudhoyono, tahun lalu. Saat itu, menteri kesehatan adalah Siti Fadilah Supari dan orang yang disebut-sebut akan menjadi pengganti adalah Nola Moeloek. Akan tetapi setelah rangkaian uji kepatutan dan kelayakan, nama Sedyaningsih inilah yang diumumkan Yudhoyono di Cikeas, saat itu.

Sebenarnya saat itu, tidak ada hal menonjol terjadi di khasanah kesehatan nasional yang bisa melatari penggantian Supari dari posisinya. Jika ada, beberapa bulan sebelumnya terjadi penyebaran flu burung H5N1 dan sebelumnya flu babi (swine influenza) H1N1, yang memang cukup menyita perhatian pemerintah dan masyarakat umum.

Bicara keperluan mengganti menteri, Yudhoyono dan wakilnya, Boediono, menyadari ada sejumlah pos saat itu yang harus lebih direvitalisasi agar target kerja kabinet bisa dipenuhi. Tidak banyak yang paham benar penyebab pos di Kementerian Kesehatan masuk dalam daftar.

Yang bisa dirunut saat itu adalah Supari menyoalkan pengiriman dan penyimpanan spesimen virus flu burung H5N1 dari Indonesia kepada WHO dengan kepentingan penelitian pembuatan vaksin antinya. WHO bertanggung jawab mewujudkan kesehatan penduduk dunia, dimana Indonesia menjadi anggota WHO.

Di sinilah kemudian kisah bermula karena bagi negara-negara di lintang menengah-tinggi, terkena virus H5N1 bisa menjadi malapetaka sangat serius. Virus ini jauh lebih berbahaya ketimbang virus flu babi H1N1, apalagi jika sudah bisa bermigrasi dari manusia ke manusia yang di negara tropis daya penduduknya dianggap lebih ketimbang wilayah lain dunia.

Jika sampai menyebar luas, dunia bisa mengalami pandemi flu burung dan derivat-derivatnya.

Oleh Supari, pertanyaan kepada WHO itu berimbas pada berbagai institusi penelitian manca negara di Indonesia. Di antara paling terkait adalah Naval Medical Research Unit 2 atau NAMRU 2 yang berlokasi di belakang Kompleks Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan, di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. 

Supari membekukan aktivitas NAMRU 2 pada 2008 dengan alasan kerangka kerja sama bilateral penelitian penyakit tropis dan virologis tentang itu telah berakhir pada 2005 sejak 1970. Di seluruh dunia, terdapat enam stasiun penelitian penyakit tropis dan virologis; yang di Indonesia tidak banyak diketahui wartawan. Khusus Indonesia, adalah pemerintah Indonesia yang "mengundang" Amerika Serikat mendirikan fasilitas militer itu pada 1970.

Aktivitas badan milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Jakarta ini tidak jelas benar. Untuk bisa masuk ke dalam lingkungan perkantoran NAMRU 2 yang dijaga ketat personel militer Amerika Serikat saja tidak mungkin tanpa ijin khusus dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Yang bisa diketahui umum cuma ada aktivitas penelitian Amerika Serikat di sana. 

Pula, sudah cukup lama situs resmi NAMRU tidak bisa lagi diakses.

Sedyaningsih pernah menjadi penasehat teknis pada Departemen Penyebaran Penyakit dan Respons, di Jenewa, Swiss, di mana WHO berkantor pusat. Posisi itu dia raih setelah merampungkan pendidikan strata dua dan tiganya di Harvard School of Medicine. 

Lebih khusus lagi, dia juga menjadi direktur Pusat Penelitian Biomedik dan Farmasi dan Pengembangan Program di Kementerian Kesehatan Indonesia sejak 2007 setelah menjadi koordinator penelitian flu burung pada 2006. 

Taklimat perdana Sedyaningsih kepada pers pada 24 Oktober 2009 tentang NAMRU 2 ini. Dia menyatakan --saat itu-- NAMRU 2 dioperasikan lagi setelah sempat ditutup pendahulunya. Namun yang berbeda kali itu adalah NAMRU 2 tidak lagi melakukan aktivitas militernya; dibatasi hanya pada kerja sama sipil belaka.

Nama NAMRU 2 juga diubah menjadi Indonesia-United States for Medical Research (UIS). Menurut satu media massa luar negeri, Sedyaningsih tidak pernah membantah kedekatannya dengan NAMRU 2.

Apapun itu, kini Endang Rahayu Sedyaningsih telah berpulang... Adalah kefanaan menjalani perjuaangan mengatasi kanker yang menghentikan perjalanannya. Selamat tinggal, Ibu Endang Sedyaningsih... (*) COPYRIGHT © 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar